Pantaskan FPI Tumbuh di Indonesia?
FPI VS AHOK
“TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa menolak Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta berujung rusuh. Demonstrasi
oleh Front Pembela Islam, Gerakan Pembela Umat Rasulullah, dan Laskar Pembela
Islam yang berlangsung di depan gedung DPR RI pada Jumat, 3 Oktober 2014 ini
adalah puncak dari berbagai protes yang telah dilontarkan untuk menjegal Ahok
jadi orang nomor satu di Ibu Kota.
Alasan utama para pengunjuk rasa menolak Ahok adalah
latar belakang agamanya. Ahok yang beretnis Tionghoa dinilai akan melakukan
diskriminasi terhadap umat Islam. “Tidak boleh ada pemimpin yang tidak beragama
Islam,” ujar juru bicara Front Pembela Islam, Muchsin Alatas.
Diskriminasi Ahok terlihat dari pelarangan
sejumlah kegiatan yang berhubungan dengan tradisi Islam. FPI menuding Ahok
melarang kegiatan tablig akbar di Monas, takbir keliling, dan pemotongan hewan
kurban. Namun, Ahok malah mengizinkan perayaan tahun baru yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam hingga menutup jalan protokol. “
kutipan berita diatas
merupakan berita yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Terutama bagi warga
DKI. Setelah terpilihnya jokowi sebagai presiden, kepemimpinan Jakarta akan
digantikan oleh wakilnya yaitu Ahok. Namun demikian, banyak sekali kontroversi
dan kecaman masyarakat terhadap sosok ahok yang merupakan orang non muslim.
Sebagaian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, menolak/mengkritik
menjadikan ahok sebagai pemimpin di DKI Jakarta. Terutama adalah FPI yang merupakan sebuah organisasi massa Islam bergaris keras. Seperti biasanya FPI melakukan aksi
brutal terhadap sesuatu yang mereka anggap bertentangan dengan Islam. Seperti
dalam berita tersebut.
Menanggapi
kasus diatas, kita sebagai santri sekaligus mahasiswa tentunya harus tanggap
terhadap kasus-kasus seperti diatas agar kita bisa lebih bijaksana dalam
bertindak dan diharapkan bisa menjadi penengah ditengah-tengah umat. Oleh sebab
itu kami mengajak teman-teman untuk berdiskusi tentang masalah diatas dengan
memberikan tanggapan serta jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diabawah ini:
1. Setujukan
teman2 dengan aksi-aksi FPI selama ini?
2. Masih
pantaskan organisasi massa seperi FPI tumbuh di Indonesia?
3. Setujukan
teman2 jika ahok menjadi gubernur di DKI Jakarta/pemimpin Jakarta?
4. Bagaimana
pendapat teman2 mengenai pemimpin non muslim?
5. Bagaimanakah
criteria pemimpin dalam islam dan menurut undan-undang di Negara kita?
Jawaban teman-teman harus disertai
alasan serta dasar-dasar atau dalil yang mendukung baik jawaban yang setuju
atau tidak setuju. Jawaban teman-teman sangat membantu kami dan umat ini sebagai
pencerahan dari kegalauan dan pertentangan yang terjadi saat ini. Syukron kastir….
Mari kita berdiskusi bersama dan semoga bermanfaat
^_^
Jawaban :
Permasalahan diangkatnya Ahok
sebagai gubernur Jakarta, merupakan contoh dari sebuah kasus yang mana, yang
kita soroti adalah seorang pemimpin non muslim yang memimpin negeri yang
mayoritasnya adalah umat muslim.
Indonesia merupakan Negara yang mayoritas
adalah umat muslim. Namun begitu, Indonesia bukan lah Negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang
mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh
peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam. Dalam UUD 1945
tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman Negara Indonesia. Ketika kita melihat sejarah terbentuknya negeri ini
maka kita akan merefresh kembali ingatan kita tentang pembentukan Negara dan
undang-undang dasar negera ini. Indonesia di bentuk oleh para founding
father kita dengan berbagai upaya sehingga terbentuklah Negara Indonesia
yang merdeka yang memiliki dasar pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum adanya pancasila terdapat piagam Jakarta (Jakarta Charter) adalah dasar
awal konstitusi negara Indonesia yang pada akhirnya menjadi pancasila dengan kesepakatan
para tokoh yang memperjuangkan NKRI ini.
Pada
tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional yang juga tokoh-tokoh Dokuritso
Junbi Chooisakai mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul
mengenai asas dasar yang telah dikemukakan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI), pada saat itulah terbentuk
sebuah piagam yang terkenal dengan nama ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya
terdapat rumusan dan sistematika yang kelak menjadi Pancasila sebagai berikut:
1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemuluk-pemeluknya, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan
Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan 5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Piagam
Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan
oleh Panitia Sembilan dan disetujui antara pihak Islam dan kaum kebangsaan
(nasionalis).
Panitia
Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Pada saat
penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule).
Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). UUD 45 yang telah disahkan oleh PPKI
terdiri dari dua bagian, yaitu bagian “pembukaan” dan bagian “batang tubuh UUD”
yang berisi 37 Pasal, 1 Aturan Peralihan terdiri atas 4 pasal, 1 Aturan
Tambahan terdiri 2 Ayat Istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah
butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama
dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku
Muhammad Hassan,
Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Fakta
sejarah tersebut menunjukan bahwa, pemikir bangsa telah arif dan bijaksana
untuk menghilangkan keegoisan dalam memaksakan keyakinan salah satu agama
terhadap agama lain dalam satu negara. Akhirnya Pancasila tercipta, dan dapat
diterima oleh berbagai kelompok yang ada. Kearifan inilah yang harus dijaga
bersama, agar kerukunan negara ini tidak terusik oleh keegoisan kelompok tertentu
yang ingin memaksakan kehendaknya, di tengah pluralitas bangsa ini.
Dari sanalah terlihat bahwa Negara
Indonesia merupakan Negara yang di bangun atas prinsip persatuan dan
perlindungan terhadap hak-hak seluruh warga Negaranya dengan tidak memandang
agama, ras, budaya maupun golongan tertentu bahkan, yang paling intens melakukan perubahan naskah Piagam Jakarta justru
tokoh-tokoh Islam sendiri terutama; Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusuma dan KH.
Wahid Hasyim. Ki Bagus Hadikusuma lah yang mengusulkan sila pertama dengan
rumusn “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut beliau rumusan demikian dikatakan
lebih menekankan akidah tauhid, sementara rumusan dalam Piagam Jakarta lebih
menekankan syari’at dengan demikian Piagam Jakarta disusun dengan dorongan
agama dan kemanusiaan. Para Pendiri Republik ini sepakat
bahwa Indonesia bukan Negara Islam.
Dengan demikian, Negara kita bukan merupakan
Negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama
Islam. Di mata Negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak
yang sama, termasuk hak memilih dan hak dipilih. Hal ini ditegaskan UUD
1945 Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28D Ayat 3 yang
menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
Hal ini pula yang dilakukan Rasulullah pada
saat memimpin Madinah yang masayarakatnya merupakan masyarakat prular seperti halnya
Indonesia saat ini. Piagam Madinah
merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa Rasulullah SAW
bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang tinggal
di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama
kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti
kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu
kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi
musuh dari luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis.
Nabi
Muhammad SAW, dalam membuat piagam tersebut, tidak hanya memperhatikan
kepentingan atau kemaslahatan masyarakat muslim saja, melainkan
juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat non muslim. Hal ini dilakukan
Nabi dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara yang baru saja
dibentuk. Nabi adalah sosok yang bisa diterima oleh berbagai golongan, dan
sekaligus mampu mempersatukan persepsi dari berbagai keragaman yang ada, tanpa
meninggalkan atau menanggalkan karakter masing-masing suku, agama, ras, etnis
tersebut.
Piagam
Madinah menjadi landasan bagi tujuan utama untuk mempersatukan
penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen.
Beliau tidak hendak menciptakan persatuan orang-orang muslim saja secara
eksklusif, terpisah dari komunitas-komunitas lain dari wilayah itu. Oleh
karenanya ketetapan-ketetapan piagam menjamin hak semua kelompok sosial dengan
memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, politik sehingga
beliau diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi
Zainal
Abidin Ahmad dalam bukunya “Membentuk Negara Islam” merumuskan Piagam Madinah
ke dalam 10 pokok dasar, yaitu 1) Menyatakan berdirinya Negara baru (Negara
Islam) dengan warga (umat yang satu) yang terdiri dari orang-orang Muhajirin,
Ansar, penduduk asli lainnya dan Yahudi. 2) mengakui
hak-hak asasi mereka dan menjamin keamanan dan perlindungan dari segala
pembunuhan dan kejahatan. 3) menghidupkan semangat kesetiaan dan persatuan
di kalangan kaum agama (Islam). 4) mengatur masyarakat yang bersikap toleran di
setiap warga Negara yang beragam agama dan suku bangsanya 5) mempertahankan
hak-hak kaum minoritas, yaitu kaum Yahudi yang menjadi warga Negara 6)
menetapkan tugas setiap warga Negara terhadap negaranya, baik mengenai ketaatan
dan kesetiaan maupunnya maupun mengenai soal keuangan. 7) mengumumkan daerah
Negara dengan kota Madinah menjadi ibu kotanya. 8) menetapkan Nabi Muhammad
sebagai kepala Negara yang memegang pimpinan dan menyelesaikan segala soal. 9)
menyatakan politik perdamaian terhadap segala orang dan segala Negara. 10)
menetapkan sanksi-sanksi bagi orang-orang yang tidak setia kepada Piagam
Madinah ini serta akhirnya memohonkan taufik dan perlindungan dari tuhan
terhadap Negara baru itu.
Sama
halnya dengan Para bapak bangsa pencetus Pancasila, yang mayoritas muslim,
mereka tidak
menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Islam. Mereka juga tidak menggunakan
bahasa maupun simbol-simbol Islam dalam membentuk pemerintahan.
Mereka tidak memilih negara Islam, karena mereka menyadari, kalau
bahasa-bahasa simbol itu dapat menimbulkan resistensi dari kelompok lain. Mereka
memilih nilai-nilai Islam tumbuh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), karena menyadari bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku, ras dan agama. Untuk kepentingan mengakomodir semuanya, mereka
mereka menggunakan prinsip-prinsip Universalitas Islam untuk membangun
persatuan negara Republik Indonesia sebagaimana Rasulullah SAW membuat
perjanjian yang dikenal dengan Madinah Charter (Piagam Madinah). Kondisi
masyarakat Indonesia yang majemuk juga ditemukan pada masa Nabi.
Dari penjelasan di atas sudah jelaslah
bahwa Negara kita bukan lah Negara yang dibentuk semata-mata hanya untuk
segolongan umat manusia saja. Tetapi Negara ini dibentuk untuk seluruh warga
yang mau mempertahankan dan mentaati seluruh aturan yang ada didalamnya.
Aturan-aturan yang ada didalam undang-undang dan pancasila merupakan suatu
aturan yang hukumnya wajib bagi seluruh warga Negara. Karena itu merupakan
janji suci seluruh warga Negara Indonesia.
Allah
berfirman dalam Surat An-Nahl : 92, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali…”
penafsiran ayat
ini dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, bahwa semua warga Negara
berkewajiban menepati perjanjian yang telah dibuat, yang dituangkan dalam
Konstitusi.
Dalam
kaidah fikih juga dijelaskan
المرء مواحد بإقراره
“seseorang
dengan ikrarnya mendapatkan akibat hukum (Hanafi)”.
Dari situ jelaslah
bahwa ikrar bangsa Indonesia terhadap Undang-Undang dan pancasila merupakan janji yang wajib dipenuhi oleh
seluruh warga negaranya.
Mari kita lihat ayar-ayat al-Quran yang melarang menjadikan
orang-orang nonmuslim menjadi pemimpin. Seperti dalam Surat Ali Imran : 28, yang terjemahnya sebagai
berikut:
”Janganlah
orang-orang Mukmin menjadikan orang-orang Kafir sebagai pemimpin dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah
ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembali.”
Dalam Kitab
Tafsir Al-Alusi, Al-Bahrul Muhith dan Ruhul Ma’ani disebutkan asbabun-nuzul (sebab
turunnya) ayat ini adalah berikut ini:
Menurut satu riwayat, ayat ini turun ditujukan kepada
Ubadah bin As-Samit. Ia mempunyai sekutu atau sahabat dari kalangan Yahudi. Ia mau meminta
pertolongan kepada mereka dalam rangka menghadapi musuh, maka turunlah ayat ini. Riwayat lain menyebutkan ayat ini turun ditujukan
kepada orang-orang Munafik, seperti Abdullah bin Ubay dan teman temannya yang bersekutu dengan orang-orang Yahudi. Riwayat
lain lagi menyebutkan bahwa Al-Hijjaj bin Amr, Ibnu Abil Huqaiq dan Qais bin
Zaid dari kalangan Yahudi membisiki sesuatu kepada kelompok Anshor dengan niat
yang tidak baik menyangkut agama. Melihat hal itu, Rifa’ah bin Munzir, Abdullah
bin Zubair dan Sa’ad bin Khaisamah berkata kepada orang-orang Anshor itu,
“Menjauhlah Kalian dari orang-orang Yahudi itu dan berhati-hatilah! Jangan sampai mereka melakukan rencana buruk terhadap
agama Kalian.” Tetapi orang-orang Anshor tetap pada pendiriannya, mereka tak
bergeming, maka turunlah ayat ini. Dengan demikian, ayat-ayat ini bukan
sedang berbicara kepemimpinan.
Seorang ulama
Al-Azhar Kairo, Syaikh Ahmad Musthofa Al Maraghi dalam Kitab Tafsirnya,
menafsirkan Surat Ali Imran : 118, bahwa orang-orang Islam dilarang mengambil
orang-orang Non-Muslim, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik
sebagai pemimpin atau teman setia, bila mereka memiliki sifat-sifat seperti
yang ditentukan dalam ayat tersebut, yaitu: 1) Mereka tidak segan-segan
merusakkan dan mencelakakan urusan orang-orang Islam, 2) Mereka menginginkan urusan agama dan urusan dunia
orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar, 3) Mereka menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam
melalui mulut mereka yang terang-terangan. Sifat-sifat tersebut adalah persyaratan yang
menyebabkan dilarangnya mengambil pemimpin dan teman setia yang bukan dari
orang-orang Islam.
Bila ternyata sikap mereka berubah, seperti
orang-orang Yahudi yang pada permulaan Islam terkenal sebagai golongan yang
paling memusuhi orang-orang Islam, kemudian mereka mengubah sikap dengan
mendukung Islam dalam penaklukan Andalusia. Juga seperti orang-orang Kristen
Koptik yang membantu orang-orang Islam dalam menaklukkan Mesir dengan mengusir
orang-orang Romawi yang menduduki lembah Sungai Nil itu. Dalam keadaan seperti
itu tidak dilarang mengambil mereka sebagai pemimpin atau teman setia.
Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang
mengurusi dewannya dari orang-orang Non-Muslim. Dan para khalifah sesudahnya
melakukan hal yang sama. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain sebagainya
dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan
kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi tak jauh beda dengan
Syaikh Al Maraghi. Dalam bukuMin Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, doktor
alumni Universitas Al-Azhar itu mengatakan, orang-orang Islam dilarang
mengangkat orang-orang Non-Muslim sebagai teman, orang kepercayaan, penolong,
pelindung, pengurus dan pemimpin, bukan semata-mata karena beda agama. Akan
tetapi, karena mereka membenci agama Islam dan memerangi orang-orang Islam,
atau dalam bahasa Al-Quran disebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Syaikh
Qaradhawi mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Mumtahanah : 1, yang
terjemahnya sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu
sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri
karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu…”
Syaikh Qaradhawi yang juga Ketua Persatuan Ulama
Muslim Internasional, membagi orang Kafir atau Non-Muslim menjadi dua golongan.
Pertama, yaitu golongan yang berdamai dengan orang-orang Islam, tidak memerangi
dan mengusir mereka dari negeri mereka. Terhadap golongan ini, umat Islam harus
berbuat baik dan berbuat adil. Di antaranya memberikan hak-hak politik sebagai
warga Negara, yang sama dengan warga Negara lainnya, sehingga mereka tidak
merasa terasingkan sebagai sesama anak Ibu Pertiwi.
Sedangkan golongan kedua, adalah golongan yang
memusuhi dan memerangi umat Islam, seperti orang-orang Non-Muslim Mekah pada
masa permulaan Islam yang sering menindas, menyiksa dan mencelakakan umat
Islam. Terhadap golongan ini, umat Islam diharamkan mengangkat mereka sebagai
pemimpin atau teman setia.
Pendapat Syaikh Qaradhawi ini didasarkan pada Surat
Al-Mumtahanah : 8, yang terjemahnya sebagai berikut:
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari kampong
halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dari uraian di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa, hukum dilarangnya mengangkat orang-orang
Non-Muslim sebagai pemimpin karena adanya illat (alasan),
yaitu adanya kekhawatiran dampak negatif bagi agama dan umat Islam. Selama pemimpin Non-Muslim tersebut diyakini
mendatangkan keburukan atau kemudharatan, maka hukum memilihnya tidak boleh.
Sebaliknya, bila keyakinan adanya bahaya itu tidak ada, maka hukumnya boleh.
Umat Islam boleh memilih Calon Wakil Gubernur Non-Muslim, jika Pejabat tersebut
tidak dikhawatirkan akan menghancurkan Islam dan memerangi umat Islam.
Di samping itu, dalam situasi dan kondisi Indonesia
yang demokratis, tentu kekhawatiran seperti itu kurang beralasan, karena
kekuasaan Pemerintah Daerah tidak mutlak dan tidak absolut. UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur apa saja yang menjadi tugas dan
kewenangan serta kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta apa
saja yang tidak boleh dilakukan. Misalnya Pasal 28 Poin (a) menyebutkan, Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus
memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu,
atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak
bisa sewenang-wenang dan sesuka hatinya, namun harus didasarkan peraturan
perundang-undangan. Jika ada Kepala Daerah atau Wakilnya yang berani melanggar
aturan, maka bersiap-siaplah untuk berurusan dengan aparat penegak hukum dan
menghadapi demonstrasi rakyat. Kebijakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak
bisa ditentukan sendiri secara otoriter. Setiap kebijakan yang diputuskan harus
melalui musyawarah dengan banyak pihak, dan dalam pelaksanaannya diawasi oleh
rakyat dan wakil-wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, serta
dikontrol oleh koran, majalah, televisi, radio, dan juga LSM.
Karena Negara ini terbentuk dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka
ketika pilihan rakyat sewenang-wenang terhadap rakyat, rakyat pula yang berhak
untuk menurunkannya dari jabatan.
Maka, kesimpulan
dari Bahsul masail kami adalah tidak bermasalah ketika Ahok menjadi Gubernur
Jakarta, selama dia tidak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan dan dia
mampu membuat semua warga masyarakat tidak hanya golongannya sendiri sejahtera
dan hidup damai. Maka ketika dia sewenang-wenang warga Jakarta berhak untuk
menurunkannya dari jabatan. Mari kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sumber:
download.portalgaruda.org/article.php?article=116309&val=5267
http://politik.kompasiana.com/2012/09/12/al-quran-membolehkan-pilih-pemimpin-non-muslim-492673.html.
Kaidah-kaidah Fiqih.
Kelompok :
1.
Annisa Dewi F
2.
Desi Khulwani
3.
Nurul Aini
4.
Ummiyatn Ma’rufah.
0 Response to "Pantaskan FPI Tumbuh di Indonesia?"
Post a Comment