Mutlak Dan Muqoyyad
A. Mutlaq
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas. Dalam
bahasa Arab, kataمـطـلـــق berarti yang bebas, tidak
terikat.
اَلْمُطْلَقُ مَا دَلَّ
عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ مُسْتَقِــلٍّ
لَفْــــــظا
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang
tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”
Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman Allah swt
(QS. Al-mujadilah [58]: 3) yang menjelaskan tentang kifarat bagi
seseorang yang telah melakukan perbuatan zihar terhadap
istrinya:
{وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ
لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا} [المجادلة: 3]
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut tidak
diikuti oleh kata yang menerangkan jenis budak yang disyaratkan untuk
dimerdekakan sebagai kifarat zihar, sehingga ayat ini berlaku mutlaq.
Oleh karena itu, pengertian ayat ini adalah kewajiban untuk memerdekakan
seorang budak dengan jenis apapun juga, baik yang mukmin ataupun yang kafir
tanpa adanya ikatan.
B.
Muqoyyad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, atau yang
mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah
suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak
tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri
berupa perkataan. Pengertian lain, muqoyyad adalah lafal yang
menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi
keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat,
dan ghayah. Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam (QS.
al-Nisa’ [4]: 92), tentang kifarat bagi seseorang yang membunuh
tanpa sengaja, yaitu:
...وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ...
Artinya:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang berlaku
muqoyyad karena ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal
ini berarti bahwa tidak sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam
permasalahan kifaratbagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini,
tetapi budak itu haruslah budak yang mukmin.
Kaedah-kaedah Mutlak Dan Muqoyyad
1.
Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat
digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى
تَقْـِـييْدِهِ.
“Mutlaq itu ditetapkan
berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 23).
artinya:
...وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ...
“…dan ibu-ibu dari
istri-istrimu…”
Ayat ini mengandung
arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi
kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi,
baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum.
2. Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap
dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mutlaq-kan.
Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ باَقِىٌ عَلَى تَقْيِــيْدِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ
عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Artinya:
“Muqoyyad itu
ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan
kemutlakannya.”
Contoh: (QS.
Al-Mujadalah [58]: 3-4):
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ
أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
(3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ
عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
artinya:
“ (3) Orang-orang yang
menzihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.”
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang melakukan zihar terhadap
istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau
kalau tidak mampu, maka ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena
ayat ini telah dibatasi kemut}laqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3. Hukum muthlaq yang sudah dibatasi.
Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لاَ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى
تَقْـِـييْدِهِ.
Artinya:
“Lafal mutlaq tidak
boleh dinyatakan mutlaqkarena telah ada batasan yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 11).
...مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي..
artinya:
“…sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”.
Kata wasiat pada ayat
ini masih bersifat mutlaq dan tidak ada batasan berapa jumlah
wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini dibatasi ketentuannya
oleh hadits yang menyatakan bahwa wasiat yang paling banyak adalah sepertiga
dari jumlah harta warisan yang ada. Dengan demikian, maka hukum mutlaq pada
ayat tersebut dibawa kepada yangmuqoyyad. Sebagaimana hadits Nabi
Muhammad saw.
فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلثُّــلُثُ وَالثُّــلُثُ كَبِــــيْرٌ (رواه
البخــارى ومســلم)
“Wasiat itu adalah
sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum muqoyyad yang dihapuskan
batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain
yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mutlaq. Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِــيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ
عَلَى إِطْــــلَاقِهِ
“Muqoyyad tidak akan
tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlaqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 23).
...
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ..
“…dan anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya…”
Ayat tersebut
menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena
anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini
telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang
sebagai batasan yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar
pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya.
Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri
tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah
dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali
Pada prinsipnya, para
ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlaqannya.
Begitupun dengan lafal-lafal muqoyyad yang berlaku kemuqoyyadannya.
Namun, pada kasus-kasus tertentu, terdapat berbagai dalil syara’ dengan lafal
yang mutlaq disatu tempat, sedang ditempat lain menunjukkan muqoyyad. Pada
permasalahan seperti ini, ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan,
yaitu:
1. Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa
kepada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااتَّفَــقَافِى
السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ
“Mutlaq itu dibawa pada
muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah’
[5]: 3).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ..
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”
Pada ayat ini, kata (الـدم) atau darah adalah lafal mutlaq yang
tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman
Allah swt, (QS. Al-An’am [6]: 145) disebutkan:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Dalam ayat ini, kata الدم, atau darah diberi sifat dengan masfuh(mengalir).
Namun, hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama “haram”.
Demikian pula sebab yang menimbulkan hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh
karena itu dibawalah yang mutlaq pada yangmuqoyyad, dalam
artian; hukum yang dalam lafal mutlaq harus dipahami menurut
yang berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan demikian, kata
“darah” pada lafal mutlaq, harus diartikan dengan “darah yang
mengalir” sebagaimana yang terdapat pada lafal muqoyyad. Dari
kedua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa materi dan hukumnya sama, maka selain
darah yang mengalir menjadi halal, misalnya hati atau limpa
2. Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada
permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah menyatakan bahwa yang mutlaq dibawa
pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah
mayoritas menetapkan bahwa hukum mutlaq dan muqoyyad masing-masing
tetap pada posisinya.
Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ وَإِنِ اخْتَـــلَفـَـــافِى
السَّــبَبِ
“Mutlaq itu dibawa ke
muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Contoh: (QS.
Al-Mujadlah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat zihar adalah
“memerdekakan budak” tanpa ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat
lain, dijelaskan bahwa bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah
memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa’ [4]:
92)
...وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ.
“…dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman...”
Kedua ayat diatas
berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedangkan sebabnya berlainan,
yang pertama karena zihar sementara yang lain karena
pembunuhan tidak sengaja. Al-Syafi’iyyah mengatakan bahwa lafal mutlaq pada kifarat
zihar itu harus dibawa kepada yangmuqoyyad tanpa
memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa Kalamullah itu
satu zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat
“iman” dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti
ketentuan inipun berlaku pula pada kifarat zihar, yaitu membebaskan
budak yang mukmin. Sementara Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan bahwakifarat
zihar ialah sembarang budak.
3. Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mutlaq dibawa
pada muqoyyad.Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااخْتَـــلَفـَـــا
فِى اْلحُـــــكْمِ
“Mutlaq itu tidak
dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
contoh: kata “tangan”
dalam perintah wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam perintah wudhu
dibatasi sampai dengan siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Maidah [5]:
6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ..
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam perintah
tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh tangan, tetapi berlaku mutlaq. Firman
Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa’ [4]: 43).
...فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ..
“…maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”
Kedua ayat diatas
mengandung sebab yang sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu
membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan hanya menyapu tangan secara mutlaq pada
tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara masing-masing karena tidak
saling membatasi.
4. Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak
dibawa pada muqoyyad.Masing-masing berdiri sendiri. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ
إِذَااخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ وَاْلحُـــــكْمِ
“Mutlaq tidak dibawa ke
muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Maidah
[5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan” disebutkan
dengan batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan
tentang hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa
menyebutkan batasan. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا..
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …”
Kedua ayat diatas
memiliki sebab dan hukum yang berbeda. Ayat pertama menyebutkan keharusan
mencuci tangan secara muqoyyad sampai siku dalam masalah wudhu
untuk melakukan shalat. Sementara ayat kedua menyebutkan keharusan memotong
tangan secara mutlaq dalam sanksi hukum terhadap pencuri.
Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa kedua ayat ini berlaku sendiri-sendiri,
lafal yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya,sementara
yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.
0 Response to "Mutlak Dan Muqoyyad"
Post a Comment