Khasanah dan Tradisi Keilmuan Pesantren Sebagai Pusaka Bangsa
Khasanah dan Tradisi Keilmuan Pesantren Sebagai Pusaka Bangsa
Berbicara
tentang pesantren tidak bisa lepas dari kebangkitan para Ulama’ Nusantara yang
mengkristal dalam tubuh Nahdlatul Ulama’ serta beberapa Ormas dan jam’iyyah
lain yang masih dalam haluan Ahlussunah wal jama’ah tentunya. Sejak awal
lahirnya pesantren yang dimotori oleh para Auliyaallah dan para Ulama’ sebagai
penerusnya, pesantren merupakan suatu habitat bagi tumbuh kembangnya khasanah
dan tradisi keilmuan.
Salah
satu tempat bersemainya ilmu pengetahuan adalah pesantren, pesantren adalah Kanzul
Ulum gudangnya berbagai ilmu pengetahuan, pesantren adalah laboratorium
besar bagi tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan. Bagi orang seperti saya yang
sejak kecil sudah merasakan atmosfir pesantren tidaklah berlebihan jika saya
katakan demikian, dan mungkin hal ini juga boleh dikatakan hanya merupakan
sebuah kesimpulan yang bersifat subyektif belaka, tapi yang perlu digaris
bawahi adalah seberapa dekat jarak pandang saya terhadap pesantren itu sendiri.
Kalau kita kembalikan pada salah satu prinsip cara berfikir obyektif adalah ;
“bagaimana cara pandang kita, seberapa jauh jarak pandang kita, dan dari sisi
pandang yang sebelah mana? Itulah kemampuan yang minimal kita miliki untuk
melihat sesuatu biar tidak lagi menjadi kebenaran milik sendiri (subyektif).
Namun akan berbeda jika kesemuanya itu sudah menjadi “diri saya” (pesantren),
sudah tidak ada lagi cara pandang, sudah tidak ada lagi jarak pandang, dan
tidak ada lagi sisi pandang, yang ada hanyalah dzauq rasa yang tidak
menuntut definisi.
Sebelumnya
saya minta maaf kalau tulisan ini nanti membuat kalian larut dalam fanatisme
pemahaan dan menjadi militant seperti saya. Namun tak lantas saya berhenti
memohon agar sikap saya yang demikian ini mendapat kerelaan dariNya dan dari
kalian semua. Semoga menjadi pola pemahaman baru bagi kita semua.
Seperti
yang sudah menjadi pemahaman kita bersama bahwa yang disebut pusaka adalah
suatu hal yang sangat berhaga dan menjadi hal penting dalam sebuah keyakinan
hidup. Kenapa Indonesia oleh para founding father kita disebut sebagai pusaka “Indonesia
Pusaka” karena memang mereka memiliki kesadaran yang sangat tinggi atas
Negeri ini, mereka menempatkan Indonesia didalam lubuk hati yang paling dalam,
maka tidak heran kalau mereka (para pahlawan) rela mengorbankan jiwa dan raga
untuk membela dan memperjuangkannya. Demikian pula pesantren dengan berbagai
hasanah dan tradisi keilmuannya adalah merupakan barang berharga yang dimiliki oleh
Negeri ini.
Persahabatan
antara santri dengan kitab-kitab kuning dan berbagai lingkar halaqoh adalah salah satu bukti
sekaligus indikasi bagi lahirnya intelektual-intelektual muslim dan
ulama’-ulama’ besar Negeri ini. Saat kita menapaki kembali sejarah hidup para
ulama’, kita pasti akan menemukan bukti tentang keakraban beliau (para ulama’)
dengan berbagai kitab dan buku, serta kesenangan mereka terhadap majlis sawwir,
seperti halnya Bapak Bangsa kita Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), entah
sudah berapa puluh buku yang menceritakan tentang kebiasaan unik beliau saat
berkunjung ke luar negeri, saat beliau berada di luar negeri baik dalam waktu
lama ataupun sebentar, yang menjadi tujuan pertama beliau adalah kota-kota yang
menjadi pusat peradaban ilmuan pengetahuan, biasanya beliau langsung mencari
perpustakaan.
Di
dalam buku Rihlah Peradaban Maroko Bumi Kaum Sufi” secara tidak sengaja
saya temukan tulisan yang menceritakan kebiasaan Gus dur saat berada di
Maroko, di Negara tempat lahirnya ulama’ ternama Syekh Sonhaji pengarang
kitab matan Jurumiah, dan tanah tumpah darahnya seorang Ulama’ besar
pengarang kitab Dalail al Khairat Syekh Aby Abdulloh Muhammad bin Sulaiman
Al Jazuli serta Tanah dimana Ibdnu Batutah sang pengembara muslim
dimakamkan, sungguh membuatku heran dan terkagum-kagum untuk yang kesekian kalinya
kepada sosok yang satu ini, yang unik tidak hanya orangnya, kebiasaannya juga
tidak kalah uniknya ternyata, yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan
orang-orang sekarang saat berkunjung atau berada di luar Negeri. Dalam buku
tersebut dan dengannya saya niatkan tabaruk kepada tokoh-tokoh besar yang
termaktub didalamnya dengan kemudian saya membaca dan menapaki tilas
sjejak-jejak ihtiar hamba Allah sampai khatam.
Di
dalam buku tersebut diceritakan secara singkat di halaman 174-175 bahwa “Waktu
itu diacara lamaran putri Gus Dur pertama, entah kenapa saya yang dicari-cari
oleh Gus Dur. Lalu Gus Dur mengatakan kepada saya. “Tosari katanya kamu mau
jadi Dubes di Maroko. Kamu harus segera berkunjung ke Fez, ke Perpustakaan
Qarawain. Sampaikan salamku orang yang bertugas di perpustakaan juga imam
masjidnya. “Memang ada apa Gus” tanyaku. “Dulu waktu saya muda. Saya pernah
tinggal lama di perpustakaan tersebut. Membaca karya-karya ulama’ di sana.
Sampai saya menemui kitab adab karya Ibnu Rusyd. Dari buku itulah saya
menemukan pencerahan. Waktu saya menangis sesenggukan, sampai-sampai seluruh
petugas perpustakaan bingung melihat saya. Kalau saja saya tidak baca buku itu
mungkin sekarang saya sudah menjadi teroris” kata Gus Dur. Demikianlah
penggalan cerita antara Duta Besar Tosari Wijaya dengan Gus Dur yang
sekaligus menjadi bukti kuat bahwa himmah dari hasanah dan tradisi
keilmuan telah lekat dalam tubuh orang-orang pesantren.
Demikianlah
salah satu kebiasaan pesantren lewat para santrinya yang gemar dengan majlisan
dan akrab dengan buku-buku, khususnya kutubuthurosh (kitab-kitab
salaf/kitab kuning) yang merupakn
khasanah dan embrio bagi lahirnya intelektual-intelektual muslim khas warna
pesantren. Kalau kita meminjam ungkapannya Al- Jahiz “Buku/Kitab akan diam selama
anda membutuhkan kesunyian (keheningan), akan fasih berbicara kapanpun anda
menginginkan wacana. Ia tidak pernah menyela anda jika anda sedang berbicara,
tetapai jika anda merasa kesepian maka ia akan menjadi sekutu yang baik. Ia
adalah teman yang tidak pernah mencurangi atau memuji anda, dan ia adalah teman
yang tidak pernah membosankan anda” dan mungkin itulah salah satu yang
menyebabkan sampai saat ini orang-orang pesantren masih memiliki kesadaran
tinggi akan pentingnya menghormati dan menghargai kitab-kitab beserta para mushonnif
dan mu’alifnya.
Pesantren
selain merupakan sebuah refleksi dan ikhtiar peradaban kaum sufi/auliya’allah
(wali songo) yang kental dengan nuansa spiritualitas juga merupakan tempat yang
menjadi tumbuh suburnya geliat intelektual kaum akademis yang disupport
penuh oleh Pemimpin Negeri ini (seharusnya demikian) tapi kenyatannya wallohua’lam.
Maka dari itu tidaklah berlebihan
jika saya katakana pesantren dengan berbagi khasanah dan tradisi keilmuannya
adalah merupakan pusaka Bangsa yang wajib dijaga dan dijamin kelestariannya demi
kehormatan dan kewibawaan Negeri ini dimata dunia.
Semoga
tulisan ini dibarengi dengan hidayah Alloh SWT.
Agaknya, nilai moral yang ingin disampaikan sangat tersirat. Sehingga cukup sulit untuk memahaminya. Dan, author-nya (penulis) siapa ya?
ReplyDeletetugas saya hanya nulis den.., untk selebihnya bagian kalian para kaum muda yg masih segar daya kritiknya dn potesial untk jd kritikus. ntar kl saya ambil semua kalian gk kebagian. hehe...,
ReplyDeleteOh nggeh Kanjeng Sunan. Jenengan pancen "uyee".
ReplyDelete