Maulana Farid Essack
A. Agama dan Konflik
Hembusan konflik dan kekerasan kerap bermula dari ketidaksadaran
warga akan pluralitas pemahaman, keyakinan dan pandangan hidup. Dengan bumbu
doktrinasi Agama tertentu, politik kekuasaan, dan perbedaan etnis, maka lahirlah
kekerasan-kekerasan yang mengatasnamakan agama, hingga kejahatan terorisme yang
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Meski akarnya berbeda,[1]
doktrin agama mudah menjadi sumber legitimasi kekerasan.[2] Pemahaman
agama berulangkali jadi mediator kekerasan dan mendorong orang beriman yang
formalistis untuk memercikkan api konflik. Gagasan-gagasan imajinatif dan
argumentatif dari tokoh-tokoh pluralisme tantang pola pikir keagamaan eksklusif
dan pola-pola kerja sama antarumat beragama yang selama ini kita bangun hanya
melahirkan kerukunan semu (pseudo-harmony). Hubungan dan kerja sama
antar agama yang didasarkan atas kepentingan sosial dan paradigma inklusif
maupun pluralis[3]
ternyata tidak mampu memberi bekal dan basis keagamaan yang kokoh bagi
terlaksananya hubungan dan kerja sama antar umat beragama. Jika demikian,
barangkali kita perlu lebih dari yang sekedar gagasan, tetapi yang praksis[4]
hingga bisa memberi rekonstruksi yang lebih mengakar di masyarakat ke arah
pemahaman multikulturalistik. Hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur’an
dalam pembacaan teks melalui pertimbangan hubungan antar author, teks dan
interpreter, sangat mendesak penerapannya. Hal ini, menurut Essack, karena umat
Islam, meskipun sangat sepakat tentang sifat divinitas al-Qur’an,[5]
namun memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur’an dan
cara memahaminya.
Farid Essack adalah tokoh dari tradisi agama Islam[6]
yang kerap dijadikan sumber pengkajian gerakan antikekerasan era kontemporer,
sang pejuang toleransi dan penggagas dialog agama-agama di dunia. Pokok pemikiran
intelektual Muslim asal Afrika Selatan ini adalah tentang pentingnya kerja sama
lintas agama dengan meninggalkan eksklusivitas agama-agama yang saling
menegasikan, tujuannya dalam rangka menggalang solidaritas bersama guna melawan
seluruh bentuk penindasan struktural yang telah melahirkan ketidakadilan
sosial-politik-ekonomi dalam kehidupan umat manusia dengan mendobrak klaim
kebenaran eksklusif agama untuk kemudian menggantinya dengan gagasan-gagasan
pluralis dan membebaskan. Di Afrika Selatan, keengganan umat Islam untuk
berinteraksi dengan non muslim ini terjadi. Dengan dalil keagamaan dan
kekhawatiran yang berlebihan[7] mereka
menolak berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih luas, dan memilih
mengasingkan dari mayoritas penduduk Afrika. Tidak peduli bahwa kerjasama ini
akan akan membawa dampak positif bukannya akan menghambat dan menodai Islam.
Tantangan keterlibatan dalam masyarakat yang lebih luas yang tidak mau diambil
umat Islam inipun akhirnya menjadi bomerang bagi umat Islam sendiri: stereotip
negatif sebagai teroris, rasis, dan
sebagainya.
Dengan nada yang tegas Farid Essack mengatakan bahwa umat Islam
harus terlibat dan konsisten memberikan kontribusi bagi penciptaan dunia baru,
umat Islam seharusnya ‘interventionist’; they
should go around ‘determinedly and consistently contributing to the creation of
a new world…. In the garden of humanity there are really no spectators; even
the neutral ones are players…’[8] Muslim
harus membantu mengurangi kemiskinan, mengatasi isu-isu lingkungan, mencapai
rekonstruksi dan rekonsiliasi. Essack mengkritik Islam dipraktikkan oleh
sebagian besar Muslim yang percaya bahwa ritual sudah cukup, dan mengandalkan
slogan dan emosionalisme. Dengan pemahaman
ini, kita dapat
melihat ajaran Islam sebagai
bagian dari transformasi budaya,
bukan ajaran agama yang tidak memiliki hubungan dengan situasi sosial yang ada. Sebagai Farid Essack
menegaskan, Al Qur'an diturunkan berdasarkan tuntutan situasi
sosial yang nyata sebagai kerangka
usulan perubahan sosial, “the
Qur’an was revealed based on the demands of a real social situations as a
proposed framework of social change”[9]
Dan Allah tidak berbicara dalam ruang hampa, “God would thus
not speak into a vacuum nor would He convey a message in one”.[10]
Dengan cara inilah kita dapat mempertahankan nilai-nilai
progresif dan revolusioner Islam.
Namun, belum lagi gagasan itu dapat diwujudkan dengan menggerakan
massa muslim dan non-muslim untuk secara bersama-sama melakukan
perubahan-perubahan, umat Islam keburu menemukan tantangannya dari dalam
dirinya sendiri terkait afinitas. Keengganan bekerjasama dengan umat lain pun
mendapatkan legitimasinya dari nash. Padahal, Pluralisme Agama, Afinitas
(wilayah), dan satu lagi yang ditambahkan Essack: Paradigma Eksodus, adalah
Tiga Prinsip Teologis yang mendasari ide solidaritas dan kerja sama lintas
agama bagi terlaksananya kerja sama antar umat beragama.
B. Hermeneutika Farid Essack
Kematian apartheid di Afrika Selatan telah
menyatukan tradisi iman yang berbeda dalam
perjuangan melawan penindasan, tidak terkecuali umat
Islam. Namun, tuntutan Muslim Afrika Selatan untuk berpartisipasi dalam solidaritas melawan apartheid membawa mereka ke dalam konflik dengan interpretasi Al-Qur'an yang
membantah adanya kebajikan diluar Islam.[18] Farid Esack menginterpretasikan
kembali Al-Quran yang digunakan dalam
konteks penindasan untuk memikirkan kembali peran Islam dalam masyarakat plural. Dia mengungkapkan bagaimana interpretasi tradisional Al-Quran seringkali digunakan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil, dan menunjukkan bahwa teks-teks yang sangat digunakan
untuk mendukung intoleransi agama;
padahal jika diartikan dalam konteks
sosio-historis kontemporer hal tersebut
justru mendukung solidaritas aktif dengan agama
lain untuk perubahan.
Dalam gagasannya, Essack menawarkan metode hermeneutika dalam
memahami al-Qur’an. Namun berbeda dengan Mohammad Arkoun yang menawarkan
konsep historisitas,[19] atau
Fazrul Rahman yang menawarkan metode tematik dan hermeneutika double movement,[20]
Hasan Hanafi yang menawarkan pemahaman dari theosentris ke antroposentris,[21] atau
juga Mohammad Syahrur dengan teori hudud (nazharyyah al-wujud),[22]
yang telah membawa teori baru. Metode hermenutika Esack, diilhami dari konsep
teologi pembebasan (liberation theologi) Gueterriez dan Segundo, pola pemikiran
regresif-progresif Arkoun dan double movement Rahman.[23] Selain
meramu dari ketiga pemikiran tersebut Esack juga menambahkan kunci-kunci hermeneutika[24]
yang sengaja dibuatnya secara khusus sesuai dengan konteks masyarakat Afrika
Selatan yang diwarnai penindasan, ketidakadilan dan eksploitasi. Selain itu, Esack juga berbeda dengan
penempatan posisi penafsiran.[25] Meski mengakui al-Qur’an sebagai teks asing yang hadir dihadapan
kaum muslimin Afrika Selatan, bahwa rakyat Afrika tidak mengalami langsung
proses hadirnya al-Qur’an ditengah-tengah masyarakat Arab, Al-Qur’an menurutnya
tetap mempunyai signifikansi bagi masyarakat lain di luar Arab. Signifikansi
itu akan ditemukan ketika memahami al-Qur’an dibawa kedalam konteks lain dari
konteks kelahirannya. Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks baru.[26] Esack menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks
partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan penafsir, serta menentukan arti
penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan
“makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan
dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan.[27] Karena menurutnya, wahyu diturunkan sebagai tanggapan atas masyarakat
tertentu, ada satu realitas sejarah telah berkomunikasi dengan mereka. Menurut
Esack dengan pembacaan sepintas tentang al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan
bahwa meskipun al-Qur’an diklaim sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia,
tapi secara umum wahyu ditujukan bagi orang-orang hijaz selama priode
pewahyuan.[28]
Disiplin naskh, dan asbab nuzul dengan jelas mencerminkan
kehadiran Tuhan yang mewujudkan kehendaknya dalam situasi umatnya, berbicara
sesuai dengan realitas.[29] Begitu juga soal tafsir, meski Farid Esack tetap mengakui keabsahan
wahyu sebagai kalam Ilahi, tetapi seputar tafsir dan penafsiran adalah
persoalan yang berbeda; penafsir tak mungkin lepas dari sejarah dan
keterkaitannya dengan tradisi, kebudayaan yang berkembang saat turunnya wahyu.[30] Dengan
metode hermeneutika tersebut Esack mencapai kesimpulan dari penafsirannya
terhadap Tiga Prinsip Teologis: ayat-ayat pluralitas,[31]
ayat-ayat afinitas,[32]
dan kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir,[33]
bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu yang tidak dilarang,
jika tidak malah dianjurkan.
C. Dialog,
Toleransi, dan Kerjasama
Dalam konteks Afrika Selatan, solidaritas inter-religious ditujukan
untuk melawan situasi penindasan yang distrukturisasi sistematis oleh rezim
Apartheid. Ke-wilayah-an tersebut, kata Esack,[34]
seyogyanya memang harus dimaknai sebagai kolaborasi produktif antarumat
beragama. Hubungan dan kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak
terlarang.[35]
Nash yang melarang kerjasama harus diberi makna baru agar sesuai yang relevan
dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-kultur). [36] Dengan
spirit teologi eksklusif dan pluralistik, kerja sama tersebut sama sekali tak
dimaksudkan untuk, misalnya, mencampur-aduk keyakinan teologis umat Islam
dengan keyakinan kaum agama-agama lain. Justru dengan menggalang solidaritas
lintas agama yang diabsahkan oleh spirit teologis tersebut, kerja sama itu
dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan sosial-politik semua umat
beragama sendiri.
Dalam konteks keindonesiaan yang berbeda dari Afrika Selatan kita bisa menemukan relevansi terkait afinitas. Jika di afrika
Selatan Islam yang minoritas bersikap eksklusif hingga sulit diajak kerjasama,
di Indonesia jauh berbeda,
Islam sebagai agama mayoritas justru bermental seperti minoritas. Hal ini terlihat pada lapisan umat Islam yang begitu tergopoh-gopoh bahkan
terkesan kurang percaya diri.[37] Dengan
hadirnya partai-partai berbasis keislaman yang sebenarnya hanya menyalurkan
aspirasi golongannya hingga kehadiran ormas-ormas keagamaan. Kalangan yang
mengatasnamakan pembela umat Islam (baca: FPI, Forkami, FUI, dan organisasi
semacamnya) adalah lahir dari ketidak percayaan diri ini. Hal yang tidak kalah
mengherankan adalah oleh MUI
Pluralisme sendiri diharamkan.[38] Fatwa ini kerap didasarkan dalil pembenaran untuk
menolak dialog, toleransi dan kerjasama dengan umat agama lain. Rasa gugup dan
kurang percaya diri umat Islam dalam berbagai seginya ini tidak akan pernah menguntungkan
bagi masa depan demokrasi di Indonesia, dan membawa Islam kehilangan keramahannya.[]
*Disampaikan dalam Diskusi Kelas Ma’had Aly Wahid Hasyim Yogyakarta. Twitter @faridiot.
[1] Akar kekerasan
dan terorisme bisa jadi terletak bukan pada teologi, melainkan pada psikologi
manusia dan kebencian yang lahir karena konflik kekerasan politik, atau
kekuasaan, dan aset-aset ekonomi seperti tanah . Lihat Abdul Rauf, Imam Feisal,
Seruan Azan dari Puing WTC: Dakwah Islam di Jantung Amerika Pasca 9/11.
terj. Dina mardiana dan M. Rudi Atmoko. Bandung: Mizan, 2007. hlm 191. Turut berpengaruh variabel lain dalam terorisme tetapi
tidak terlalu signifikan seperti adanya kesenjangan antara kaya dan miskin. Lihat A.M. Hendropriyono, Terorisme; Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
oktober 2009. hlm. 383. Kita melihat
bahwa terorisme subur di daerah yang taraf hidup masyarakatnya rendah seperti
di Ambon, Poso, daerah-daerah terbelakang lain bahkan di pulau Jawa, yang
dihadapkan pada kesenjangan yang besar antara masyarakat kaya dengan miskin. Atau pandangan lain bahwa terorisme adalah model
gerakan-gerakan oposisi yang menggunakan atau membiarkan kekerasan dan
terorisme sebagai jalan mencapai kekuasaan politik. Lihat Fawaz A. Gerges, Amerika dan Politik Islam Benturan Peradaban
dan Benturan Kepentingan, terj. Kili Pringgodigdo, Hamid Basyaib. Jakarta:
AlvaBet, 2002. hlm. 125; atau bisa juga
kita tidak melihat terorisme sebagai ekspresi ideologi maupun paham keagamaan
tapi dilihat sebagai konstruksi politis kekuatan tertentu. Lihat misalnya Arifatul Choiri
Fauzi, Kabar-kabar Kekerasan dari Bali.
Yogyakarta: LKiS, 2007. hlm. 19; atau kegagalan
diplomasi. Lihat Richard A.
Clarke, Menggempur Semua Musuh, terj.
Tim Sinergi. Jakarta: Sinergi, 2004. hlm. 134.
[2] Meski tidak bisa sertamerta dikaitkan dengan agama karena yang
bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin
agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu
mendapat perhatian seksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama.
Misrawi, Zuhairi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
Perdamaian. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. hlm. 93. Dan nama
fundamentalisme ini telah dipahami sebagai aliran Islam yang menekankan
penggunaan kekerasan sebagai wujud keimanan. Baca Any Rufaidah, Edi Purwanto,
L. Riansyah, Agama Demokrasi. Malang: Averoes, 2008. Hlm. 4. Selalu ada
kecenderungan kita untuk menghubungkan aksi kekerasan (violensianisme) dengan
agama tertentu. Padahal, selalu ditegaskan bahwa tidak ada satu agama pun yang
mengajarkan dan melegitimasi violensianisme, apalagi terorisme. Purnomo, Aloys
Budi, Rakyat (Bukan) Tumbal (Kekuasaan & Kekerasan). Jakarta,
Gramedia Puataka Utama, 2007. hlm. 107. Hingga saat ini perbincangan tentang
fundamentalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat
dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme.
[3] Paradigma inklusif adalah pandangan yang mempercayai adanya
kebenaran dan keselamatan pada agama dan kelompok lain. Dalam kehidupan
beragama mewujud dalam rumusan ajaran yang tidak menganggap bahwa agamanya
sendirilah satu-satunya yang paling benar untuk siapa saja. Di luar agamanya
sendiri terdapat kebenaran yang juga yang baik diperhatikan. Lihat M Ilham
Masykuri Hamdie, Pluralisme Agama Menuju Dialog Antar Agama Telaah Pemikiran
Dimensi Sufistik Nurcholis Madjid, (Banjarmasin : IAIN Press, 2006), h.
50. Kelompok inklusif yang dikenal
mengikuti pandangan ini antara lain adalah Syaikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
(al-Manâr), Al-Thabathabai (al-Mizân) dan Muhammad Jawad
Mughniyah (al-Mubîn). Kelompok ini yang melandaskan pemahamannya dan
menggarisbawahi pada ayat-ayat al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 62 dan
surah al-Mâidah ayat 69 yang bernuansa inklusif. Menurut mereka ayat-ayat
tersebut menjanjikan keselamatan pengenut agama Kristen, Yahudi dan Shabiin,
yang percaya kepada keesaan Tuhan, pengadilan hari kemudian dan menghiasi diri
dengan amal kebaikan. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama, (Bandung : Mizan, 1998) h.
57. Sementara itu, paradigma pluralis adalah suatu pemikiran yang
berpendapat bahwa setiap agama mempunyai kebenaran dan jalan keselamatan
sendiri-sendiri, sehingga tidak ada yang berhak mengklaim hanya agamanya yang
benar. Tegasnya, paradigma pluralis ini mengekspresikan adanya fenomena “satu
Tuhan banyak agama” yang berarti sikap toleran terhadap adanya jalan lain
kepada Tuhan. Dengan paradigma ini, setiap agama mempunyai konsep jalan
keselamatan sendiri secara khas. M. Ilham Masykuri Hamdie, op. cit, h.
53. Karena itu, pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban, lihat Budhy Munawar-Rahman, op.cit, h. 39.
Selanjutnya, Pluralisme agama dianggap sebagai lompatan praksis dari sekadar
inklusivisme pemahaman keagamaan. Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi
Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta : Fitrah, 2007) h.
205. Farid essack mempunyai tawaran yang
berbeda dari kedua paradigma ini.
[4] Gerakan untuk
melaksanakan teori sehingga menghasilkan suatu revolusi. Setelahnya berefleksi,
dan terus menerus sampai selanjutnya
[5] Farid Esack,
Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997, 92
[6] Setiap tradisi agama memiliki tokohnya masing-masing, meski tidak
bisa disama-ratakan tapi mereka bermuara pada yang ide sama. Beberapa tokoh
dari tradisi Kristen yang berkonsentrasi mengkaji dan mengamalkan wacana
antikekerasan dan antikemapanan kita mengenal Martin Luther King bapak
reformasi rigiditas (kebekuan) ajaran-ajaran Kristen; Dorothy Day, Carlos
Filipe Ximenes, Belo, Adolfo Perez Esquivel, Hildegard, dan yang lainnya.
Joseph Abileah, Halina Birenbaum, Martin Buber, Natan Hofshi, lalu Jeremy
Milgron merupakan tokoh Agama Yahudi yang memerjuangkan kebebasan dengan jalan
damai tanpa menggunakan kekerasan yang dapat memecah belah persatuan antar
manusia di seluruh dunia. Suderlal Bahugama, Vinoba Bhave, Mahatma Gandhi, dan
Jayaprakash Narayan adalah tokoh Dari tradisi Agama Hindu yang berkonsentrasi
penuh memerangi kekerasan dengan jalan damai atau lebih terkenal dalam
penjabaran gagasan “Swadesi” Mahatma Gandhi. Aung San Suu Kyi, Dalai Lama XIV,
Maha Ghosanadaria, Stella Tamang, dan Thich Nhat Hahn; tradisi agama Budha,
kita akan menemukan ajaran agung Budhisme yang menebarkan cahaya damai dalam
bentuk sikap dan tindakan yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan sehingga
bisa terealisasinya kehidupan tanpa kekerasan. Dari sini kita akan menemukan
bahwa – sesuai dengan pemikiran Essack – perjuangan kita melawan penindasan tidak
sendirian.
[7] Penolakan ini
lazim mereka dasarkan pada makna eksplisit-tekstual pesan Allah SWT dalam QS.
al-Ma’idah (5): 51, ‘‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” QS.
al-Ma’idah (5): 51 yang secara tekstual memang tidak mengijinkan afinitas,
bekerja sama dengan dan mempercayakan kepemimpinan kaum Muslim terhadap kaum
agama lain, dalam hal ini adalah Yahudi dan Nasrani.
[8] Essack, Farid (1999) On
Being a Muslim: finding a religious path in the world today. Oxford:
Oneworld Publications 1999:100).
[9] Essack, Farid. 1997 Qur’an,
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression. Oxford: Oneworld. (Essack, 1997: 54)
[10] 2002 The
Qur’an: A Short Introduction. Oxford: Oneworld. (Essack,
2002 : 121 dan
122)
[11] Destinasi Cape Town, Johannesburg, Durban, Pretoria, Jalur lintas
alam dan galeri seni Stellenbosch dan beberapa tempat telah menjadi tujuan
wisata internasional.
http://www.tripadvisor.co.id/Tourism-g293740-South_Africa-Vacations.html
[12] Etnis suku, sensus penduduk tahun 2006: suku asli afrika
79,6%, kulit putih 9,2%, kulit berwarna 8,9%, dan keturunan india/asia 2,5%
(agustus 2006). Agama: Kristen Zion (11,1%), Pantecosta (8,2%), Katolik (7,1%),
Kristen Methodist (6,8%), Dutch Reformed (6,7%), Anglikan (3,8%), Kristen
lainnya (36%), Islam (1,5%), lainnya/tidak beragama (18,8%). Dari data ini kita
melihat bahwa Islam adalah minoritas di negara yang plural. Kedutaan Besar
Afrika Selatan untuk Indonesia.
[14] Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Pretoria Afrika Se3latan http://www.indonesia-pretoria.org.za
[15] Republik
Afrika Selatan dan Republik Indonesia membuka hubungan diplomatik pada bulan
Agustus 1994. Kedutaan Republik Afrika Selatan didirikan pada bulan Januari
1995 di Jakarta. Lihat situs resmi Kedutaan Besar Republik Afrika Selatan http://www.southafricanembassy-jakarta.or.id.
Hubungan politik antara Indonesia dan Afrika Selatan terjalin lama sejak
sebelum pembukaan hubungan diplomatik. Indonesia mendukung the
African National Congress (ANC) pada masa perjuangan melawan
Apartheid, dan menjaga posisi ini terus menerus serta memberikan sanksi
terhadap rejim Apartheid. Hubungan bilateral antara the ANC dan Indonesia
memberikan sebuah platform bagi negara – negara di Asia untuk berjuang melawan
Apartheid. Afrika Selatan dan Indonesia adalah anggota Gerakan Non-Blok yang
aktif, dan telah bekerja sama dengan erat dalam meningkatakan prinsip – prinsip
kerjasama Selatan – Selatan. Kedua negara telah memainkan peranan penting dalam
meningkatkan peranan Selatan dan meningkatkan dialog Utara – Selatan. Suatu hal
yang patut digarisbawahi adalah pada saat Indonesia menjadi tuan rumah
Konperensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, Indonesia mengundang the ANC
sebagai wakil dari Afrika Selatan untuk konperensi ini.
[16] Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah
sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.
Kondisi Afrika selatan kini, proses demokrasi, ini penting untuk melihat
keadaan sosio-historis lingkungan Farid Essack. Dan untuk meletakkan
pemikirannya dalam kerangka perjuangan apartheid yang kini sudah usai.
[17] Selama di
tanah airnya ini, Esack bersama beberapa temannya membentuk organisasi politik
keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan berjuang keras untuk
menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan pengalaman
penindasan dan upaya pembebasan yang disebutnya sebagai a search for an
outside model of Islam. Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the
Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991),
215 Essack juga memegang peranan penting di berbagai
lembaga dan organisasi, seperti The Organisation of People Aginst Sexism dan The Capé
Against Racism and the World Conference on Religion and Peace.
[18] Konsep
demokrasi pun digugat. Sebagai buatan barat yang pernah menindas.
[19] Dalam Konsep
historisitas Arkoun, al-Qur’an dilihat dari sudut pandang sejarah turunnya
al-Qur’an hingga proses kodifikasinya,Ia menilai telah terjadi titik perubahan
yang krusial dalam alur historisitas al-Qur’an yang tercermin dalam perubahan
wacana wahyu verbal kepada korpus tertulis yaitu mushaf. Lihat Fahmi Salim,
Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, Gema Insani Press, Jakarta 2010, 281
[20] Proses
interpretasi Fazlur Rahman melibatkan “gerakan ganda”, dari situasi sekarang
menuju situasi dimana al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi kemasa
sekarang. Lihat dalam buku Fazrul Rahman Islam and modernity, the University of
Chicago Press, London & Cicago.1919, 5. lihat buku, Abdul Mustaqim,
Epistemologi tafsir kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010, 178.
[21] Hasan Hanafi
juga menggagas sebuah tafsir harus diproyeksikan menjadi sebuah metode empatis-sosiologis.
Karena itu merupakan fenomena manusia yang hidup didalam perasaan mufassir,
sehingga memungkinkan terwujudnya kerangka fenomenologi sosial. Tujuannya,
untuk berbicara kepada publik arab secara langsung dan melampaui cara-cara
akademis konservatif,untuk sampai kepada pemikiran serta pandangan yang
langsung terhadap realitas, Lihat Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum
Liberal, Gema Insani Press, Jakarta 2010, 236
[22] Syahrur dengan
Teori hudud ( nazharyyah al-wujud) merespon problem kontemporer terutama yang
tekait dengan masalah hukum. Kemudian juga Ia membedakan istilah al-Kitab dan
al-Qur’an, lihat buku Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010,194, lihat buku Muhammad
Syahrur, metodologi fiqih kontemporer, 281
[23] Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez dan double movement
Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun
untuk memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian.
[24] Kunci-kunci yang dimaksud adalah, taqwa (integritas dan
kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), al-nas
(manusia), al-mustadh’afûn fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl
and qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan praksis).
Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika
pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung
antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.[24] Dua
kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan
ktiteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca
al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua
kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai
pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci
terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan
etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan
dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan. Esack, Qur’an, 86-87
[25] Teori hermenutika Esack didasarkan atas pembacaannya terhadap realitas
praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi ketimpangan,
maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena semangat teks
sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Ayat-ayat dimaknai secara baru
untuk mendukung gagasan dan upayanya dalam memberikan perubahan sosial
masyarakat sesuai dengan semangat al-Qur'an. Inilah rumusan khas hermeneutika
Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya
[26] Lihat Aksin
Wijaya, Arah Baru Ulumul-Qur’an, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2009, 195-197
[27] Menurut Esack, penggunaan “lingkaran hermeneutik” yang dimaksudkan
mirip seperti dalam teologi pembebasan yang ditawarkan Juan Louis Segundo.
Lihat Esack, Qur’an, 11. Lihat juga, Juan Louis segundo, The Theology
of Liberation, (New York: Orbit Books, 1991), 9. Bedanya dengan pola hermeneutika biasa, baik
model obyektif maupun subyektif, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca
terhadap teks. Hermeneutik obyektif adalah model penafsiran klasik yang berikhtiar
memahami teks sebagaimana dimaksud sang pengarang karena teks in fact adalah
ungkapan jiwa pengarangnya. Tokohnya terutama Schleiermacher dan Dilthey.
Sementara hermeneutik subyektif adalah model penafsiran yang berkembang di era
modern. Berbeda dengan model obyektif, model hermeneutik ini berupaya menemukan
makna (subyektif) dari apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Penekanannya
bukan pada maksud sang pengarang, melainkan pada isi teks itu sendiri. Teks
dengan begitu otonom, ia bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh
siapa pun. Sebab begitu sebuah teks dipublikasikan, ia seketika mandiri dan tak
lagi berkait dengan (maksud) si pengarang. Tokohnya antara lain Gadamer dan
Derrida. Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Pustaka, 1985), 9-13.
[28] Esack
menempatkan wahyu sebagai respon atas kejadian yang dialami Manusia: masyarakat
Arab. Farid Esack, Qur’an, Liberation
& Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against
Oppression, One World, Oxford, 1997, 86
[29] Maka dengan begitu, wahyu menurutnya dibentuk oleh realitas. Kedua disiplin
itu membentuk unsur penting dalam karya kontemporer yang berusaha
mengkontektualisasikan pesan-pesan al-Qur’an. Kedua unsur tersebut diambil
sebagai kunci dalam latar yang lebih luas menyangkut relevansi sejarah,
kontektualisasi, dan keadilan sosial. Maka menurut Esack tugas interpretasi
masa kini tak boleh mengabaikan waktu, tempat, dan pemahaman bagaimana suatu
ajaran atau perintah menanggapi konteks kontemporer.
Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism…., 93 Pemahaman tentang interaksi dan konteks merupakan persyaratan untuk
menerapkan kembali pemaknan yang lebih hidup. Mengerti al-Qur’an dalam konteks
historisnya bukan berarti membatasi pesan-pesan dalam konteks itu, tetapi
memahami makna pewahyuan dalam konteks tertentu dimasa lalu agar dapat
mengkontektualisasikannya dalam kenyataan kontemporer.
[30] Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an
Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, One World,
Oxford, 1997, 108
[31] Menurut Esack,
al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan
keanekaragaman agama. “Sungguh,
orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di antara
mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akan
mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka
dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. (QS. al-Baqarah, 62). Ayat
tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang
dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang
diiringi dengan berbuat kebajikan (amal salih) tanpa memandang afiliasi
agama formal mereka. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan
Thabathaba’i. Lihat Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, (Beirut, Dar
al-Makrifah, 1980), 336; Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an,
(Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973), 193
[32] Sebagian besar
ulama klasik dan umat Islam Afrika Selatan menolak kerjasama dengan umat agama
lain berdasarkan makna teks al-Qur’an surat al-Maidah, 51. Menurut Esack, benar
bahwa ayat ini secara tekstual tidak mengizinkan afinitas (wilâyah)
dengan kaum agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita
tidak bisa berhenti di sini melainkan harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang
terkait dengan hal ini secara keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Ditempat
lain, larangan ini juga ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89),
orang yang mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi
kamu karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah,
13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap atau
tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-sikap tersebut
tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh melakukan afinitas
dengan mereka. Esack, Qur’an, 181. Lihat juga Abd Al-Malik Ibn Hisyam, Sirah
Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t), 146 tentang masyarakat Madinah,
perjanjian politik dan pertahanan umat Islam bersama umat agama lain.
[33] Farid Essack melihat signifikansi kisah ini sebagai komitmen Tuhan
pada kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari soal keimanan mereka yang
membuat patung sesembahan (QS. al-Baqarah, 51; Thaha, 85-97) dan ketika
berbicara dengan Musa, mereka menyebut Allah dengan “Tuhanmu” (QS. al-Baqarah,
61). Ketika diminta berperang untuk kemerdekaan mereka sendiri, mereka
mengatakan, “Pergi dan berperanglah bersama Tuhanmu, dan kami akan duduk di
sini” (QS. al-Maidah, 24). Mereka bahkan mengejek Musa, “Kami tidak akan
beriman kepadamu sebelum kami bertatap muka dengan Allah” (QS. al-Baqarah, 55).
Meski terus menyangkap dan tidak mau beriman, mereka tetap diajak “masuk ke
tanah itu dan makan makanan yang banyak” (QS. al-Baqarah, 58; al-A`raf, 161).
Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan bahwa Bani Israel yang dibela Musa bukanlah
kaum yang beriman melainkan justru orang yang keras kepala dan kufur. Yang
beriman di kalangan mereka hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli
tafsir klasik diartikan dengan “sebagian kecil”, baca Al-Razi, Tafsî Fakhr
al-Râzi, XVII, 150; al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III,
(Beirut, Dar al-Ahya, tt), 277; “anak-anak mereka”baca Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
II, 364; al-Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar
al-Ihya, tt), 277 atau “beberapa pemuda” baca Rasyid Ridla, Tafsir al-Manâr,
XI, 469. Meski demikian, mereka tetap dibela Tuhan dengan mengutus Musa. Acuan mustadh’afun
(tertindas) yang dialami Bani Israil akibat kesewenang-wenangan Fir’aun
mencerminkan posisi utama yang diberikan Tuhan bagi kaum tertindas. Hal
tersebut juga menandakan bahwa janji pembebasan tetap ada walaupun dalam
ketiadaan iman kepada Tuhan, dengan argumen bahwa ketertindasan mereka harus
diselamatkan dulu sebelum menekankan keimanan kepada mereka. Esack, Qur’an,
202.
[34] Selanjutnya
lihat Esack, Qur’an, 180-93.
[35] Meski hubungan dan kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak
terlarang, tetapi kerja sama tersebut tidak bisa dilakukan secara sembrono. Essack
mensyaratkan aturan yang bisa jadi ini justru kelewat ketat hingga tidak
efektif bagi perjuangan pembebasan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
kerja sama tersebut tidak boleh sampai meninggalkan umat Islam sendiri, dan
kerjasama tersebut harus memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam.
Selain itu, pihak yang diajak kerja sama harus memenuhi persyaratan: telah
terikat perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam,
bukan pihak-pihak yang membuat agama menjadi bahan ejekan, bukan orang yang
mengingkari kebenaran, bukan pihak atau yang membantu pihak-pihak yang mengusir
umat Islam. Esack, Qur'an, 184-201
[36] Lihat Esack, Qur’an,
11.
[37] Sambil membandingkan dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah yang memeprlihatkan kepercayaan diri yang begitu besar dan tanpa rasa gugup mengulurkan tangan kepada kelompok “non-Islam”, Lihat Noer, Deliar (et.al.) Mengapa Partai Islam Kalah?: Perjalanan Politik Islam Dari Prapemilu '99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999. Hlm. 115
[38] Ketidakmampuan sebagian kalangan agamawan untuk memahami serta menafsirkan konsep pluralisme dengan baik dan tepat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7 tanggal 28 September 2005, mengeluarkan 11 fatwa, diantaranya pada poin 7) MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama sama), sekularisme dan liberalisme. Alasan yang digunakan MUI adalah pandangan bahwa pluralisme merupakan paham yang mengajarkan semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Disamping itu pluralisme mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Dan pluralisme juga mengajarkan, bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan berdampingan di surga. Perihal keyakinan, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (QS. Ali ‘Imrân [3] : 19); agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di hari akhirat nanti (QS. Ali ‘Imrân [3] : 85); realitas perbedaan agama (QS. Al-Kâfirûn [109] : 7); perintah untuk memerangi mereka yang memerangi umat Islam (QS. Al-Mumtahinah [60] : 9); dan tidak ada pilihan kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya (QS. Al-Ahzâb [33] : 36). Pemahaman para ulama tentang pluralisme agama tersebut tidak begitu jelas serta tidak menggunakan rujukan yang semestinya. Sementara ini, terkesan bahwa definisi tersebut merupakan tafsiran terhadap pandangan beberapa kalangan yang selama ini menganut teologi inklusivisme. Sebab paham yang menyatakan semua agama adalah sama tidak mempunyai korelasi dengan pluralisme sama sekali, bahkan bisa disebut bertentangan dengan pluralisme, sebenarnya paham tersebut lebih dekat pada inklusivisme. Zuhairi Misrawi, op cit, h. 205.
[38] Ketidakmampuan sebagian kalangan agamawan untuk memahami serta menafsirkan konsep pluralisme dengan baik dan tepat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas)-nya yang ke-7 tanggal 28 September 2005, mengeluarkan 11 fatwa, diantaranya pada poin 7) MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama sama), sekularisme dan liberalisme. Alasan yang digunakan MUI adalah pandangan bahwa pluralisme merupakan paham yang mengajarkan semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Disamping itu pluralisme mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Dan pluralisme juga mengajarkan, bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan berdampingan di surga. Perihal keyakinan, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (QS. Ali ‘Imrân [3] : 19); agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di hari akhirat nanti (QS. Ali ‘Imrân [3] : 85); realitas perbedaan agama (QS. Al-Kâfirûn [109] : 7); perintah untuk memerangi mereka yang memerangi umat Islam (QS. Al-Mumtahinah [60] : 9); dan tidak ada pilihan kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya (QS. Al-Ahzâb [33] : 36). Pemahaman para ulama tentang pluralisme agama tersebut tidak begitu jelas serta tidak menggunakan rujukan yang semestinya. Sementara ini, terkesan bahwa definisi tersebut merupakan tafsiran terhadap pandangan beberapa kalangan yang selama ini menganut teologi inklusivisme. Sebab paham yang menyatakan semua agama adalah sama tidak mempunyai korelasi dengan pluralisme sama sekali, bahkan bisa disebut bertentangan dengan pluralisme, sebenarnya paham tersebut lebih dekat pada inklusivisme. Zuhairi Misrawi, op cit, h. 205.
0 Response to "Maulana Farid Essack"
Post a Comment