Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (1)

Dalam bahasa arab, bentuk amr adalah dengan menggunakan sighat if’al yang berarti kerjakan dan li-taf’al yang berarti hendaklah engkau mengerjakan. Menurut aslinya bentuk (sighat) amr adalah menunjukkan perintah.

Oleh Ahmad Farid Mubarok

*Disampaikan dalam diskusi kelas Ma’had Ali Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Semester III. Jum’at, Tanggal 4 November 2011.




Karena Al-Qur’an dan sunnah, dimana syari’at islam termaktub didalamnya menggunakan medium bahasa arab, maka untuk untuk memahami syari’at Islam kita bisa menggalinya melalui dua pendekatan. Pertama adalah melalui pendekatan maqashid syari’ah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum), Kedua adalah melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Diantara kaidah kebahasaan yang digunakan untuk menetapkan dan menerangkan hukum-hukum syari’at adalah amr dan nahi. Tulisan ini akan membahas amr dan nahi sebagai kaidah kebahasaan untuk memahami perintah dan larangan dalam Al Qur'an.

Dalam Bahasa Arab, kata larangan disebut dengan Nahi, dan kata perintah tersebut disebut Amr. Kebanyakan hukum-hukum syari’at yang taklif ditetapkan atas adanya tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan atau tuntutan untuk meninggalkannya. 

Lalu spa yang dimaksud dengan amr dan nahi? Bagaimana bentuk-bentuknya? Apakah amr menunjukkan tuntutan yang harus dilaksanakan sekali atau berulang-ulang? Apakah amr menunjukkan tuntutan yang harus segera dilaksanakan atau tidak? Bagaimana hukum yang ditunjukkan oleh amr yang datang setelah larangan? Apa sesuatu yang diperintahkan itu ada relevansinya dengan kebaikan, dan sebaliknya sesuatu yang dilarang ada relevansinya dengan keburukan? Kita akan menjawabnya satu-persatu.


Pengertian Amr dan Nahi

Amr dalam terminologi ushul fiqh adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi (derajatnya) kepada pihak yang lebih rendah. Pengertian ini diberikan oleh Al-Amidi, dan pengertian yang sama juga dikemukakan oleh al-razi, Muhammad adib shaleh, al-syaukani, ali hasabullah, badran abu al-anain badran, dan abu zahrah. Tidak jauh beda dari pengertian tersebut, menurut al-syatibi, amr adalah tuntutan dan kehendak (dari al-amir: yang menuntut dan menghendaki) untuk melaksanakan suatu perintah. Sedangkan nahi berarti “melarang mengerjakan sesuatu,” dengan menggunakan sighat (bentuk kalimat) la taf’al. Jika amr berarti perintah atau tuntutan mengerjakan sesuatu, Nahi berarti kebalikannya.

Sighat amr yang menunjukkan arti perintah ada kalanya bersifat wajib dan ada kalanya bersifat sunnah (nadb). Akan tetapi pada umumnya sighat amr dalam Qur’an dan Sunnah menunjukkan wajib atau perintah yang pasti, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan kebalikannya sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Sebagaimana amr, nahi juga merupakan tuntutan yang harus. Pada hakekatnya Nahi merupakan larangan yang harus ditinggalkan, sebagaimana Amr juga merupakan perintah yang harus dikerjakan. Dengan demikian, dari segi tuntutannya, nahi sama dengan amr. Al-qur’an telah menjelaskan tentang kewajiban meninggalkan larangan dalam Qs. Al-Hasyr:7: wa maa nahaakum ‘anhu fantahuu, dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. Jadi, Nahi merupakan larangan, baik yang harus dtinggalkan yang disebut haram, atau yang sebaiknya ditinggalkan yang disebut makruh. Yang menentukan apakah nahi tersebut menunjukkan hukum haram atau makruh sesuai dengan yang dikehendaki syara’, adalah qarinah-qarinah yang menjelaskannya.


Bentuk Lafadz Amr dan Nahi

Ada beberapa bentuk (sighah) yang dimiliki amr, yang semuanya menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan, yaitu:

(1) Fi’il amr (kata kerja imperatif), misalnya Qs. 17:78: aqimu al-shalata wa atu al-zakata

(2) Fi’il Mudhari yang disertai huruf lam yang berfungsi imperatif, misalnya Qs. 2: 185: faman syahida minkum al-syahara falyashumhu

(3) Ism Mashdar yang berfungsi sebagai fi’il amr, misalnya Qs. 17:23: wa bil-walidaini ihsanan

(4) Ism fi’il amr, misalnya Qs. 12:23: waghulliqat al-abwahu waqalat hayta laka

(5) Jumlah Khabariyah yang digunakan sebagai tuntutan (thalab), misalnya Qs. 2:228: wa al-muthallaqatu yata rabbashna bi anfusihinna tsalasata quru’

(6) Pernyataan dengan unsur amr, misalnya Qs. 4: 58: inna allaha ya’murukum an tu’addu al-amanati ila ahliha

(7) Pernyataan dengan unsur fardl, misalnya Qs. 2: 178: qad ‘alimna ma faradlna ‘alaihim

(8) Pernyataan dengan unsur kitabah, misalnya Qs. 2: 178: ya ayuha al-ladzina amanu kutiba ‘alaikum al-qishash fi al-qatla

(9) Pemberitaan bahwa sesuatu perbuatan dijadikan balasan atas syarat, misalnya Qs. 3: 97: walillahi ‘ala al-nasi hujju al-bayti man istaha’ ilayhi sabila

(10) Pemberitaan bahwa suatu perbuatan dijadikan balasan atas syarat, misalnya Qs. 2:196: fain ahsartum fama istaysara min al-hadyi

(11) Pemberitaan bahwa suatu perbuatan itu baik, misalnya Qs. 2:220: wa yas’alunaka ‘an al-yatama; qul ishlahun lahum khair

(12) Pemberitaan suatu perbuatan yang dikaitkan dengan suatu janji, misalnya Qs. 2: 245: man dza al-ladzi yuqridlu allaha qardlan hasanan fayudla’ifahu lahu adl’afan katsirah.


Selanjutnya: Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (2)


0 Response to "Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel