“Bersahabat dengan Tuhan”

“Bersahabat dengan Tuhan”

Kalau dari dulu saya tau bahwa sakit dan penderitaan adalah salam sapa dari Tuhan, maka tak akan ku siasiakan dia. Kalau dari dulu saya tau bahwa kefakiran dan ke-tak berdayaan adalah salam persahabatan dari Tuhan, pastilah saya tidak akan mencibir dan membencinya. Seandainya dari dulu saya tau bahwa keperihatinan hidup dan kesengsaraan hidup adalah salam rindu dari Tuhan, maka akan saya penuhi hidup ini dengannya. Dan kalaupun dari dulu saya tau bahwa kekayaan, ketenaran, dan kemewahan dunia adalah salam peringatan dari Tuhan, maka saya akan buru-buru membuangnya.



Apakah ini yang disebut kerinduan, rindu kepada seorang yang memberikan warna batin hingga menjadikan ruh ini memiliki sinarnya. Apakah ini yang dinamakan kegersangan jiwa yang tumpul akibat lalai lama tak menemui batu pengasah yang selama ini menajamkannya.

Demikianlah pertanyaan yang tiba-tiba menyambangi fikiranku, sudah beberapa kali pertemuan jasad ini seakan berat untuk diajak kembali pada rutinitas olah rasa yang selama ini justru sangat dibutuhkan dan diburu oleh orang-orang yang kembali tersadar akan pentingnya pemenuhan hak bagi jiwa mereka, namun kesadaran itu malah seakan semakin menjauh dari diriku yang secara diri ini adalah pemilik sah kewajiban itu.

Sebenarnya ada apa dengan diri ini, apa mungkin menganggap semua itu sudah terlalu biasa bagi diri ini, hingga tak lagi menjadi hal yang wah dan mewah seperti peranggapan mereka semua. Atau malah jangan-jangan inilah selama ini yang dimaksud dengan fase dimana ulat sudah tak lagi mengindahkan kepompong, dan kupu-kupu yang jijik dengan dirinya sendiri karena mengetahui bahwa dirinya sejatinya adalah ulat. Sebab tak sedikit orang seperti diriku ini yang hanya melihat capaian kemulian-kemulian tanpa mau melihat proses yang begitu berat dan panjang. Juga tak banyak orang yang legowo ridho dan mau menerima diri mereka dengan apa adanya, memang terlalu jauh untuk menerima diri yang apa adanya, hanya untuk memiliki kesadaran diri atas dirinya sendiri saja sulitnya minta ampun.

Mohon maaf kalau bahasanya terlalu jelimet dan kacau balau karene saya sendiri masih dalam proses penyadaran diri. Sebenarnya sederhana yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan ahir-ahir ini saya menjadi orang yang super malas. Banyak kewajiban-kewajiban yang saya tinggalkan hanya karena pemikiran saya yang terlalu idealis, praktis, dan konsumtif terhadap sesuatu hal yang baru. Sangat sulit untuk diajak berfikir yang realistis.

Anggap saja tulisan ini hanyalah bualan dari orang yang kurang kerjaan seperti saya, yang hari-harinya habis untuk menghabiskan waktu dan sekedar menyalurkan hobi tak penting biar gak dibilang menyia-nyiakan waktu hidup. Bagi saya kehidupan dunia adalah salah satu proses dari sekian banyak proses penghabisan waktu yang harus disiasiakan untuk secepatnya menggapai masa keabadian, kerena dari semua masa yang sudah dan akan kita lalui nanti semuanya akan sia-sia dihadapan-Nya kecuali hanya satu masa dimana kita semua akan hidup kekal dan abadi selamanya yaitu ahirat. Banyak orang bijak yang mengatakan kehidupan dunia ini hanyalah batu loncatan yang tak mungkin lama kita menapakinya, dunia hanyalah gelanggang pementasan yang penuh sesak dengan sendau gurau dan sandiwara belaka.

Sekarang percayakan, bahwa cara berfikir saya sangat kacau dan acak-acakan. Dan saya yakin pasti kalian semua menuduh saya yang bukan-bukan, hanya karena tulisan yang gak penting ini. Sangat wajar, sebab kenyataannya memang demikian dan saya tidak akan tersinggung apa lagi marah, jadi tetaplah dengan keputusan kalian yang demikian. Bagi saya semakin diri ini jauh dari kesempurnaan maka akan semakin cepat ku temukan Tuhan dalam ke-tak sempurnaan diri ini, semakin diri ini jauh dari kemuliaan dunia maka akan semakin dekat diri ini dengan pemiliknya, dan semakin cepat diri ini menemukan kefakirannya maka akan semakin lekat Tuhan dengan diri ini. Bukankah memang selama ini Tuhan sangat sulit kita temukan didalam kemewahan, kita akan semakin kesulitan menemukan Tuhan di keramaian tanpa latihan, namun tak sedikit pula orang yang menemukan Tuhan dalam dirinya yang lemah, sakit, dan tak berdaya. Disaat ke-takberdayaan itulah Tuhan menyapa kita.

Sekali lagi saya minta maaf, dan saya harap kalian tidak salah faham dengan saya. 

0 Response to "“Bersahabat dengan Tuhan”"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel