Menyoal hoaks dari sudut pandang Usul Fiqh
Akhir-akhir ini orang-orang masih marak memperbincangkan hoaks atau berita palsu. Dalam bahasa Arab disebut ''ifkun", sebagaimana disinggung dalam hadits "babul ifki" mengenai peristiwa Sayyidah Aisyah ketika tertinggal rombongan Nabi, sehingga bermunculan desas-desus negatif dari kalangan para sahabat.
Kembali pada berita hoaks, saya tidak ingin membahas kembali apa yang marak diberitakan di berbagai media akhir-akhir ini. Saya lebih tertarik menyorotinya dari segi keilmuan usul fiqh.
Di dalam usul fiqh, berkenaan dengan sumber dalil yang dapat digunakan sebagai hujjah, para Usuli membaginya menjadi dua jalan penelusuran. Yang pertama dari segi tsubut atau silsilah periwayatan bagaimana sebuah redaksi nash dapat sampai kepada kita. Nash yang mutawatir atau diriwayatkan oleh banyak sahabat, sudah tentu lebih dapat diterima kehujjahannya daripada nash yang diriwayatkan oleh segelintir perawi. Kedua adalah dari segi dalalah, yakni sejauh mana sebuah nash mampu menunjukkan makna. Semakin jelas maknanya, semakin ia dapat diterapkan dalam kehidupan.
Maka berdasarkan pembahasan di atas, berita hoaks tidak dapat diterima sebagai hujjah. Ia sudah mendapat stempel cacat riwayat dan bahkan, perawinya tidak dapat diterima riwayatnya seumur hidup sampai ia mau bersumpah.
Demikian besarnya dampak dari berita hoaks, maka seharusnya kita dapat lebih berhati-hati dalam menerima informasi. Alangkah baiknya info yang kita terima, kita tabayyunkan terlebih dahulu, sebelum kita terima atau bahkan kita share kan ke berbagai media yang kita miliki. Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Kembali pada berita hoaks, saya tidak ingin membahas kembali apa yang marak diberitakan di berbagai media akhir-akhir ini. Saya lebih tertarik menyorotinya dari segi keilmuan usul fiqh.
Di dalam usul fiqh, berkenaan dengan sumber dalil yang dapat digunakan sebagai hujjah, para Usuli membaginya menjadi dua jalan penelusuran. Yang pertama dari segi tsubut atau silsilah periwayatan bagaimana sebuah redaksi nash dapat sampai kepada kita. Nash yang mutawatir atau diriwayatkan oleh banyak sahabat, sudah tentu lebih dapat diterima kehujjahannya daripada nash yang diriwayatkan oleh segelintir perawi. Kedua adalah dari segi dalalah, yakni sejauh mana sebuah nash mampu menunjukkan makna. Semakin jelas maknanya, semakin ia dapat diterapkan dalam kehidupan.
Maka berdasarkan pembahasan di atas, berita hoaks tidak dapat diterima sebagai hujjah. Ia sudah mendapat stempel cacat riwayat dan bahkan, perawinya tidak dapat diterima riwayatnya seumur hidup sampai ia mau bersumpah.
Demikian besarnya dampak dari berita hoaks, maka seharusnya kita dapat lebih berhati-hati dalam menerima informasi. Alangkah baiknya info yang kita terima, kita tabayyunkan terlebih dahulu, sebelum kita terima atau bahkan kita share kan ke berbagai media yang kita miliki. Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Wiw
ReplyDelete