Sabtu Pagi, 22 Maret 2014

Oleh Nashihah El-Abif


Tulisan ini adalah salah satu dari tulisan dalam "Seri Dawuh Bapak Jalal di Suatu Sabtu Pagi". Tulisan lainnya dapat diikuti dalam kategori pakkyai.


Sabtu pagi ini, pengajian rutin Mukhtashor Ihya’ sampai di bab ‘ujub. Hal yang belakangan ini mulai menjamur seiring dengan maraknya budaya individualis. Hal yang mulai mengikis budaya bangsa timur yang kolektifis, yang menghargai peran serta pihak lain dalam pencapaiannya. Ironis sekali.

Pagi ini, Bapak juga bercerita tentang banyak hal. Sampai-sampai tidak ada pembacaan Hizb Bayyumi yang biasanya rutin dibaca setiap sabtu pagi. Berikut cerita-cerita inspiratif bapak yang tertangkap oleh saya;


Belajar mengajar

Banyak hal di dunia ini yang baru bisa kita mengerti setelah beberapa waktu, entah itu dalam hitungan jam, hari bulan, tahun, windu, dasawarsa, atau bahkan abad. Seperti yang pagi ini dicontohkan oleh Bapak Jalal.

Dulu saat masih nyantri, Bapak pernah didawuhi oleh Kyainya untuk mengajari dua orang anak tertentu sebelum subuh setiap harinya. Yang dipikirankan Bapak pada waktu itu adalah, Yai ini aneh-aneh saja, kenapa tidak memilih orang lain yang lebih berkompeten, kenapa harus saya? Tetapi hal itu hanya sebatas pikiran dan bapak tetap melaksanakan perintah Gurunya.

Setiap hari berusaha bangun lebih awal untuk kemudian mengajari dua orang anak tersebut perihal nahwu. Suatu pembelajaran dan pemanusiaan manusia yang sangat halus. Karena secara tidak langsung, Mbah Ali telah menyuruh Bapak belajar terlebih dahulu tentang hal yang akan diajarkan. Sekaligus melatih kebiasaan bangun sebelum subuh, tidak menjemur subuh. Sangat memanusiakan manusia, bukan? Tidak dengan memerintah (act like a boss), “hai, kamu bangunlah sebelum subuh” atau “hai, kamu mbok yo belajar” tetapi dengan memberi posisi sebagai pengajar (act like a leader). Karena dengan mengajar, kita juga belajar.

Hal inilah yang kemudian menginspirasi bapak dalam menentukan kebijakan pada santri-santri Wahid Hasyim. Santri diberi tanggung jawab untuk mengajar santri yang lain. Tidak peduli santri pengajar tadi baru atau lama.

Leadership

Santri Wahid Hasyim, keseluruhan, harus aktif berperan dalam lembaga atau yayasan. Tidak ada yang boleh menganggur atau menghindar dari hal ini. Kurang lebih begitulah instruksi yang berulang kali disampaikan oleh Bapak. Yang Bapak adalah bagaimana caranya santri wahid hasyim itu ready to use setelah menyelesaikan masa studinya. Bagaimana santri Wahid Hasyim di kemudian hari menjadi leader yang siap dan matang, tidak malah baru belajar menjadi leader setelah merampungkan studi.

Santri Wahid Hasyim harus sudah siap pakai as a leader, leader dalam bidang apa pun. Tidak malah menghindar dari hal-hal tersebut dengan alasan tidak berbakat dan lain sebagainya. Karena realita sosial yang serba cepat menuntut manusia yang baru berusia muda juga sudah siap menjadi pemimpin.

Jati yang baru bisa dipanen setelah puluhan tahun digantikan oleh sengon laut yang sudah bisa dipanen hanya dalam jangka waktu beberapa tahun. Yang penting sama-sama bisa difungsikan sebagai perabot. bukan berarti menafikkan keberadaan jati, hanya saja memberi alternatif terhadap jati yang masa panennya sangat lama. Juga bukan berarti menafikkan kualitas jati yang memang lebih baik, tetapi memberi kesempatan pada sengon laut untuk memberi manfaat secepat yang dia bisa.

Dengan aktif berperan dalam lembaga maupun yayasan, kita juga telatih untuk ber khidmah pada pesantren, kyai, dan masyarakat. Seperti kata hikmah Bapak yang tertulis dalam Manba’u-l Hidayah (buku kumpulan mujahadah santri Wahid Hasyim); “al mujaahadatu miftaahu-l hidaayah, al khidmatu miftaahu-l karaamah”.

Problem solver

Kenapa saya sering menekankan untuk kerja bakti? Karena dengan kerja bakti, sampean itu jadi bisa berpikir cepat dan tepat. Hal ini meliputi, apa yang harus dilakukan saat ada atap bocor, apa saja yang harus dicampurkan ke dalam molen saat ngecor, dan lain sebagainya. Kurang lebih, begitulah yang juga sering disampaikan oleh Bapak akhir-akhir ini.

Dengan seperti ini, kita jadi bisa terlatih untuk do more. Tidak lah kalau kita menjadi orang yang mbulet mikir anggaran dulu, mikir arsitekturnya dulu, mikir ketok palu dulu, sebelum melakukan sesuatu.
Menghindari musyawarah? Bukan seperti itu dan jangan dulu berpikiran seperti itu karena memang sama sekali tidak seperti itu. Saat kerja bakti, tentu ada musyawarah-musyawarah kecil yang dilakukan oleh pelaku-pelakunya, bukan? Jadi musyawarah tetap tercakup di sini, hanya saja, tidak mbulet.

Dengan kerja bakti, kita terlatih untuk membumikan langit, bukan malah melangitkan bumi. Saya itu pragmatis, tidak idealis, begitu dawuh Bapak setelahnya.

Intan melewati proses penempaan yang sangat keras sebelum akhirnya dia menjadi barang yang mahal dan kuat. Begitupun untuk menjadi manusia yang berharga dan kuat, kita sebelumnya harus melewati proses penempaan yang sangat keras dan melelahkan. Semoga bermanfaat.


0 Response to "Sabtu Pagi, 22 Maret 2014"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel