Sabtu Pagi, 29 Maret 2014

Oleh Nashihah El-Abif



Tulisan ini adalah salah satu dari tulisan dalam "Seri Dawuh Bapak Jalal di Suatu Sabtu Pagi". Tulisan lainnya dapat diikuti dalam kategori pakkyai.





Siapa yang bisa menjamin akhir hidup seseorang kalau bukan Allah semata? Bal’am, seorang ulama pada zaman Nabi Musa as. yang sangat ta’at pada Allah, ma’rifat, dan semua doanya dikabulkan oleh Allah, ternyata meninggal dalam keadaan su-ul khotimah. Na’uudzubillaahi min dzaalik.


Kawan, belum tentu orang yang kita nilai tidak baik, mempunyai akhir yang tidak baik pula. Pun belum tentu orang yang kita nilai baik, mempunyai akhir yang baik -allaahumma innaa nas-aluka husni-l khaatimah, wa na’uudzubika min suu-il khaatimah-. Kita sebagai hamba yang lemah hanya bisa memohon untuk ditunjukkan jalan yang lurus dengan melafalkan ihdina-sh shiraatha-l mustaqiim setiap harinya dan terkadang menambahi dengan rabanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaytanaa wa hab lanaa min ladunka rahmah, innaka anta-l wahhaab. Itulah kenapa di kitab ini, diterangkan bahwa tidak sepantasnya kita memiliki  perasaan lebih baik dari orang lain. Karena, kita ataupun orang lain sama-sama berkemungkinan husnul khotimah dan su-ul khotimah.


Pagi ini Bapak hendak mengisahkan tentang Bal’am ini, tapi tertunda karena waktu sudah menunjukkan pukul enam dan sudah dua sabtu pembacaan Hizb Bayyumi tidak dilakukan, tetapi Bapak tetap menutup pengajian pagi tadi dengan doa.


Bapak mengingatkan pada kita, agar senantiasa berdzikir, mengingat Allah untuk ketenangan hati kita sendiri. Seringkali di antara kita belum sampai terbuka matanya dari tidur, tetapi perasaan gelisah sudah bergelayutan di hati. Ini kerjaan setan, lanjut Bapak.


Kawan, itulah kenapa dalam Islam kita diajarkan doa bangun tidur. Tidur sebagai sarana kita mengistirahatkan jasmani, agar nantinya fisik kita kuat diajak berkompromi untuk melanjutkan ibadah. Bukankah itu suatu kenikmatan? Setelah diberi kenikmatan semacam itu, kita dibangunkan dari tidur kita, bukankah seyogyanya yang pertama kali kita ingat adalah Sang Pemberi Nikmat? Alhamdulillaahilladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihinnusyuur. Doa ini pendek, tetapi memerlukan pembiasaan yang tidak mudah dalam mengamalkannya setiap bangun dari tidur. Banyak karena yang dapat diuraikan sebagai alasan, tetapi silakan disimpan di benak masing-masing saja. Karena Bapak juga menambahkan, bahwa yang dapat merasakan hal ini ya diri kita masing-masing.


Sebenarnya gelisah ini dapat diatasi dengan beberapa cara, di antaranya;


Shalat tahajjud dan dhuha secara rutin.

”Wa minal laili fatahajjad bihi naafilatan laka `asaa an yab`atsaka rabbuka maqaaman mahmuudan”.
Ini luar biasa, mengosongkan pikiran dari yang selain Allah di waktu-waktu sepi seperti ini. Di agama lain juga diajarkan, ada yang pakai meditasi, ada yang pakai yoga (mengatur nafas). Tetapi intinya tetap sama, mengistirahatkan pikiran sejenak dari hal-hal duniawi yang setiap hari sudah membuat kita lelah, sambung Bapak.


Seorang teman pernah mengingatkan saya, bahwa ilmu itu pada dasarnya panas dan yang dapat mendinginkannya adalah dzikir. Kalau manusia otaknya hanya digunakan untuk berpikir saja tanpa dibarengi dzikir, ya cepat aus (kalau bahasa Bapak). Dzikir itu pelumas. Dzikir ini bisa dengan cara apa saja, yang pertama disarankan oleh Bapak ya shalat tahajud, lebih baik kalau mau menambahi shalat dhuha secara rutin di pagi harinya. Karena dengan membiasakan diri shalat tahajjud, hati yang tadinya terasa kecil dan mengkerut akan dikuatkan oleh Allah sehingga menjadi proporsional -tidak terlalu merasa besar dan tidak terlalu merasa kecil- dalam menjalani kehidupan, demikian juga dengan ditambah rutinan shalat dhuha di pagi harinya.

Pagi merupakan cerminan harimu. Pagi yang diawali dengan perasaan gelisah tentu akan berimbas pada perasaan kita hari itu, bahkan bisa saja di hari-hari setelahnya juga masih gelisah.


Kalau tidak bisa bangun tahajjud, semisal sudah sangat letih, ya dzikir selepas shalat fardhu setidaknya lima belas menit. Kalau dzikirnya istighfar, ya konsentrasinya dipusatkan pada istighfar itu saja, jangan nyambi yang lain. Kalau dzikirnya tadarrus, ya tadarrus itu saja. Tadarrus yang istiqomah selepas shalat, apalagi shubuh dan maghrib.

"Kalau mau membangunkan teman yang masih tidur dan belum shalat shubuh, ya jangan pakai mp3 nya Syaikh Sudais atau yang lain, pakai suara sendiri dengan tadarrus sendiri. | Lha kulo ngantuk je Pak. | Kalau ngantuk, ya sudah, nggak usah ngaji aja."


Bukankah kita tahu bahwa Tombo Ati itu ada lima? Hal-hal yang disebutkan di atas termasuk di antaranya, akan lebih baik lagi jika dikombinasikan (dijalankan semuanya). Kalau masih terlalu sulit, satu per satu dahulu daripada tidak sama sekali. Tetapi dengan catatan, untuk shalat tahajjud, jangan malah selepas tahajjud kembali tidur sampai telat shalat shubuh. Bukan merupakan hal yang elok apabila hal yang sunnah malah mengganggu yang wajib. Shalat di awal waktu tetap merupakan suatu keutamaan. Jangan lupa dengan wa baala as-syaithoonu fii udzunihi (seperti yang pernah saya singgung di catatan saya sebelumnya) karena shubuh yang terlambat merupakan indikasi bahwa syaithan telah berhasil melakukan muslihatnya.


Kawan, kalau hati kita dikuatkan oleh Allah dalam menghadapi kehidupan, tentulah tidak ada istilah galau atau gelisah yang dikarenakan pikiran-pikiran negatif kita, serta dilindungi dari hal-hal yang tertera di surat Al Falaq dan An Nas. Kita tidak mudah mengeluh dengan beban yang kita pikul, tidak mudah gelisah karena hal yang tidak pasti, tidak mudah galau karena harapan yang digantungkan pada makhluk pupus, serta menjadi terlatih untuk selalu berbaik sangka kepada Allah.


Dengan hati yang kuat, kita akan menyadari akan keluasan semesta dan kekerdilan kita di hadapan-Nya. Bahwa bukan hanya kita yang diberi cobaan, bukan hanya kita yang menderita pun bukan hanya kita yang diberi kebahagiaan semacam yang kita alami -kemarin, saat ini, atau esok-. Hati yang kuat membuat kita merasakan kebahagian-kesedihan dengan sewajarnya, tidak berlebihan, proporsional.

Kawan, ujian kita dibanding dengan Kanjeng Nabi itu tidak ada apa-apanya, meski memang kita sangat tidak pantas dibandingkan dengan Kanjeng Nabi, tetapi setidaknya sebagai umatnya kita bisa meniru beliau.


Ihdina-sh shiraatha-l mustaqiim, shiraathalladziina an'amta 'alaihim, ghairi-l maghdhuubi 'alaihim, walaa-dh dhaaaaalliin, aaaaamiin.

0 Response to "Sabtu Pagi, 29 Maret 2014"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel