Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (2)
Bentuk Lafadz Amr dan Nahi
Tulisan ini adalah lanjutan dari seri sebelumnya tentang memahami Perintah dan larangan dalam Al Qur'an. Lihat Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (1)
Berdasarkan bentuk (sighah) nya, amr dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, amr sharihah (amr yang memiliki tuntutan yang jelas), Kedua, amr ghairi Sharihah, yaitu amr yang memiliki bentuk imperatif yang tidak jelas. Amr Sharihah dapat diketahui dari dua sudut pandang: (1) semata-mata perintah dan tidak diketahui ‘illat kemaslahatannya, misalnya Qs. 2: 43; (2) dipahami maksud syari’ dan kemaslahatannya dengan cara menelitinya, misalnya Qs. 62:9: fa-s’aw ila dzikri allaihi, dimana maksudnya adalah memelihara terlaksananya shalat jum’ah dan tidak melalaikannya, bukan hanya perintah untuk bersegera mengingat Allah saja.
Sedangkan pada Amr yang memilikii bentuk imperatif yang tidak jelas (ghairi sharihah), meliputi (1) pemberitaan mengenai ketetapan hukum, misal Qs. 2:183: ya ayyuha al-ladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiyam; (2) perbuatan dan pelakunya mendapat pujian, berpahala, dan dicintai Allah bila dikerjakan, misal Qs. 57:19: wa al-ladzina amanu billai warusulii ulaika um al-shiddiqun; Qs. 4:13: wa man yuthi’i allaa warasulahu yudkhilhu jannatain; Qs. 5:93: wa allahu yuhibbu al-musinin. (2) perbuatan diperintahkan karena berfungsi sebagai pelengkap atas perbuatan wajib, misalnya membasuh sebagian kepala untuk menyempurnakan perintah membasuh muka dalam berwudhu dan atau suatu perbuatan diperintakan karena lawan dari larangan.
Lafadz Nahi juga memiliki model yang yang variatif. Ada beberapa model yang mempunyai arti larangan, yakni: (1) menggunakan kata yang berakar dari fi’il madhi naha; misalnya Qs. Al-Nahl: 90; (2) menggunakan kata yang berakar dari fi’il madhi haruma; misalnya Qs. Al-A’raf:33; (3) menggunakan kata yang berakar dari fi’il madhi zara’a, misalnya Qs. Al-Jumu’ah: 9; (4) menggunakan kalimat khabar yang didahului oleh huruf la nafi, misalnya Qs. Al-Baqarah:193.
Hukum Amr
Amr dan waktu pelaksanaannya. Al ashlu fil amri laa yaqtadhii al fauro, pada dasarnya perintah itu tidak mengharuskan segera (dilakukan), maksudnya adalah perbuatan yang telah dilakukan itu tidak harus dilaksanakan dengan segera tetapi boleh ditunda, kecuali ditemukan adanya indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa suatu perkara itu harus dilakukan dengan segera. Tetapi, apabila al-amr secara mutlak tidak dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan waktu pelaksanaannya, maka ulama ushul fiqh berbeda pendapat, apakah menghendaki penyegeraan atau tidak. Perbedaan mereka itu sebagai berikut:
(1) Hanya menghendaki terlaksanakannya suatu perbuatan, dan tidak menunjukkan penyegeraan atau perlahan-lahan. Namun, yang lebih utama adalah penyegeraan. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama, termasuk al-amidi, ibn Hajib al-Baidlawi, al-Razi, juga dinisbahkan kepada Syafi’i
(2) Menghendaki penyegeraan dan wajib melaksakannya pada awal waktunya. Pendapat ini disandarkan kepada al-Malikiyah, al-Hanabilah, sebagian al-Hanafiah dan Syafi’iyah
(3) Menghendaki perlahan-lahan. Pendapat ini dinisbahkan kepada al-Syafi’iyah, mayoritas golongan al-Asy’ariyah, Qadli Abu Bakar, al-Jubba’i dan Abu al-Husein al-Basri
(4) Menunjukkan tuntutan ganda antara penyegeraan dan perlahan-lahan dan tidak menunjuk pada salah satunya, kecuali ada dalil. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama fiqh
(5) Pendapat mazhab al-Waqifiyah yang mengatakan bahwa al-amr mutlak itu menunjuk pada penyegeraan dan perlahan-lahan itu sendiri karena tidak diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya. Demikian ini pendapat Imam al-Haramain al-Juwaini. Perbedaan-perbedaan pendapat di atas apabila dianalisa secara teliti, maka dapat dipahami bahwa yang paling unggul adalah pendapat pertama, yang pada dasarnya al-amr itu tidak menghendaki penyegeraan, karena pemenuhan perintah itu bukan diletakkan pada kesegeraannya, tetapi kesempurnaan atas perintah itu, kecuali ada qarinah yang menyertainya.
Amr dan Kuantitas Pelaksanaannya. Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulang pada pekerjaan yang dituntutnya. Maksudnya, pada hakikatnya amr (perintah) itu tidak menunjukkan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu mengharuskan untuk dilakukan berulang-ulang, kecuali jika ditemukan qarinah (indikasi) yang menghendaki harus ada pengulangan. Disini para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa amr yang dihubungkan dengan syarat dan sifat itu menunjukkan pengulangan. Misalnya, perintah bersuci karena junub, Qs. 5:6: wa in kuntum junuban faththahharu; yang berarti bahwa tidak cukup hanya sekali tetapi diharuskan bersuci setiap junub. Juga perintah salat karena bergesernya matahari, Qs. 17:78: aqim al-salata liduluki al-syamsi yang berarti bahwa Shalat dilakukan setiap bergesernya matahari.
Akan tetapi berbeda pendapat tentang al-amr mutlak. Apakah menuntut pelaksanaan suatu perbuatan sekali atau berulang-ulang. Perbedaan mereka itu dapat dikemukakan sebagai berikut: (a) al-amr secara mutlak hanya menuntut terpenuhinya perbuatan, tanpa menunjukkan bilangan sekali atau berulang-ulang. Karena secara substansial, al-amr tidak menunjukkan demikian. Dan pemenuhan perbuatan itu paling sedikit satu kali. Pendapat ini dinisbahkan kepada mazhab Hanafiah, al-Amidi, Ibn Hajib, al-Juwaini , al-Baidlawi, kebanyakan ulama mazhab Syafi’iyah, golongan Mu’tazilah, Abu Husein al-Basri, dan Abu al-Hasan al-Karakhi serta al-Razi; (b) al-amr mutlak secara lafdziyah menuntut pelaksanaan satu kali. Oleh Abu Ishak al-Syairazi pendapat in disandarkan kepada pengikut mazhab Syafi’iyah. Sedangkan oleh al-Syaukani dinisbahkan kepada Abu Ali al-Juba’I, Abu Hasyim, Abu Abdullah al-Basri, dan segolongan pengikut salaf mazhab al-Hanafiah; (c) al-amr mutlak menunjukkan pelaksanaan satu kali, tetapi memungkinkan berulang-ulang. Pendapat ini didiriwayatkan dari Syafi’i; (d) al-amr mutlak itu mengandung petunjuk ganda antara satu kali da berulang kali. Golongan ini disebut al-Waqifiyah, karena berhenti dan tidak tahu apakah al-amr mutlak itu digunakan satu kali atau berulang-ulang. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadli Abu Bakar dan Imam al-Haramain al-Juwaini. Menurut Drs. Syamsul Bahri, M.Ag., yang paling unggul adalah pendapat yang pertama, sebab pada dasarnya al-amr itu tidak menghendaki pengulangan karena tuntutan dalam bahasa Arab itu lazimnya cukup dilakukan satu kali, lagi pula asal sesuatu itu bebas dari tanggungan (al-ashl bara’at al-dzimmah).
Selanjutnya: Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (3)
0 Response to "Perintah dan Larangan dalam Al Qur'an (2)"
Post a Comment