Bahtsul Masa'il Ulya B: Hukum Jama'ah Beruntun
Oleh : Kelas Ulya B
A.
Prolog
Shalat
merupakan ibadah dasar yang pasti dilakukan oleh seorang muslim. Melaksanakan
sholat merupakan perintah yang banyak di sebut dalam AlQur’an, salah satunya
dalam surat Al Baqarah ayat 43. Bahkan dalam surat Alfatihah yang merupakan
surat pertama, utama dan inti dari AlQur’an, sholat sudah disebut sebagai tanda
bahwa seseorang termasuk golongan orang
yang bertaqwa (QS 1: 3). Secara umum, sholat dibagi menjadi dua yaitu sholat
wajib lima kali sehari dan sholat sunah seperti sholat rawatib, sholat id, sholat
tahajud, dan sebagainya.
Rukun Islam yang kedua ini dapat dilaksanakan secara munfarid
(sendirian) ataupun jama’ah (bersama - sama). Shalat berjama’ah ialah shalat
bersama yang dilakasanakan oleh sekurang-kurangnya 2 orang, yang satu bertindak sebagai imam, dan
yang lain bertindak sebagai ma’mum. Shalat yang dilaksanakan secara bersama ini
bukan amalan yang sepi akan keutamaan, Rasulullah SAW bersabda bahwa Shalat
berjama’ah itu lebih utama dari sholat munfarid karena pahalanya akan
dilipatkan menjadi 27 derajat.
Keutamaan yang
menarik hati tersebut tentunya berdampak terhadap adanya keinginan setiap
muslim untuk melaksanakannya selagi ada kesempatan. Hal tersebut dapat dilihat
di mushola – mushola tempat umum ataupun masjid, sholat maktubah berjama’ah
tetap membudaya dalam waktu apapun.
Dalam syariat Islam, sholat berjama’ah boleh dilakukan oleh dua
orang yang tidak memulai sholat secara bersamaan. Seseorang yang telah memulai
sholat secara munfarid bisa menjadi berjama’ah ketika datang orang lain
yang memberi isyarat untuk menjadikannya imam. Praktek tersebut berjalan bukan
tanpa permasalahan didalamnya, terkadang terdapat fenomena – fenomena bersifat
kasuistik yang terdapat dalam praktek sholat berjama’ah semacam ini. Terkadang
karena ketidak tahuan, seseorang bisa saja menjadi makmum sekaligus imam
sedangkan kedua posisi tersebut tidak dapat diduduki secara bersamaan oleh satu
orang yang sedang sholat.
Dari latar belakang tersebut, adanya pembahasan mengenai
permasalahan ini menjadi menarik dan perlu untuk di laksanakan dalam ranah
Fiqih Ibadah.
B.
Contoh kasus
Suasana siang hari
pada hari aktif kuliah di mushola fakultas Tarbiyah Universitas Gajah Mada
selalu ramai dipenuhi oleh mahasiswa yang hendak melaksanakan sholat dzuhur.
Suatu hari, Dora dan Emon
sedang sholat dzuhur berjama’ah. Dora bertindak sebagai imam, dan Emon
sebagai ma’mum. Kemudian setelah satu rakaat berlalu datanglah Kitty
yang tidak mengetahui bahwa Dora dan Emon sedang berjama’ah. Tetapi Kitty
malah menepuk pundak Emon
sebagai tanda bahwa Kitty ma’mum kepada Emon. Emon
pun bingung dengan apa yang harus dia lakukan, akhirnya dia memilih untuk tetap
meneruskan sholatnya dan menjadi ma’mum Dora, sedangkan Kitty
terus saja mengikuti dan menganggap Emon imam.
Pertanyaan :
1.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh Emon ?
2.
Apakah shalat jama’ah Kitty dianggap sah?
3.
Bagaimana sebaiknya sholat berjama’ah dilaksanakan agar terdapat
kejelasan antara imam dan ma’mum?
Jawaban sementara (versi kelompok kami)
1.
Memberikan tanda kepada Kitty bahwa dia sedang menjadi makmum Dora.
2.
Tidak sah
3.
Sebaiknya ketika shalat berjamaah, jarak antara imam dan ma’mum
hendaknya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, imam juga hendaknya
sedikit mengeraskan suara ketika takbir sehingga menunjukkan bahwa kedua orang tersebut
sedang berjama’ah.
C.
Tanggapan-tanggapan
Kelompok 1 :
sholat Kitty tetap sah, akan tetapi tidak mendapatkan fadhilah
berjama’ah. Setelah menyadari bahwa Kitty berjamaah kepada ma’mum, hendaknya ia
membatalkan sholatnya kemudian mengikuti jama’ah dan imam kepada Dora berdasar
kaidah “alkhuruju minal khilafi mustahbbun”.
Kelompok 2 :
Kitty bersalah karena tidak teliti ketika hendak ikut berjama’ah.
Kelompok 3 :
hendaknya Emon menjadi Imam Kitty , berdasasrkan hadits Ibnu Annas
r.a yang menceritakan bahwa Rasulullah
tidak menghendaki penolakan terhadap ma’mum.
Kelompok 4:
Sholat Kitty sah, tetapi tidak mendapatkan fadhilah berjama’ah.
Kelompok 5:
Sholat jama’ah Kitty sah, dan Emon tetap menjadi makmum. Dengan
kaidah “ Almasyghulu laa yasghulu”
Kelompok 6 :
Sholat semua orang yang ada dalam kasus tersebut sah, karena Emon
tidak wajib berniat menjadi imam Kitty.
D.
Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan ilat dibolehkannya mufaraqoh dalam
berjama’ah, maka sah sholat dan sah berjama’ah terpisah. Seseorang bisa saja
berjama’ah, sholatnya sah tapi tidak mendapatkan fadhilah berjama’ah. Dari
kasus tersebut, sholat Kitty sah, akan tetapi tidak mendapatkan fadhilah
berjama’ah jika ia tetap melanjutkan berimam kepada Emon.
Hendaknya setelah mengetahui bahwa Emon adalah makmum Dora, Kitty
membatalkan sholatnya kemudian makmum kepada Dora , atas dasar kaidah “Alkhuruju
minal khilaafi mustahbbun”.
Ket. Masih dalam proses pen-taskhih-an oleh Dewan Pen-taskhih Madrasah Diniyah PP. Wahid Hasyim
0 Response to "Bahtsul Masa'il Ulya B: Hukum Jama'ah Beruntun"
Post a Comment