Ulumul Qur'an (Ulya A)
Oleh: * (Kelas Ulya A)
1. Pengertian Al-Qur’an Secara Etimologis
Secara etimologis, kata Al-Qur’an merupakan
mashdar yang maknanya sinonim dengan kata qira’ah (bacaan). Al-Qur’an dengan
arti qira’ah ini terdapat dalam ayat 17, 18 surat Al-Qiyamah :
017. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
018. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu.(QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Pengertian Al-Qur’an secara etimologis ada
beberapa pendapat utama.
a. Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), berpendapat bahwa lafadz Qur’an bukan isim
musytaq yang diambil dari kata lain, melainkan isim murtajal, yaitu isim alam
(nama), yakni nama bagi kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw.
b. Al-Farra’ (wafat 207 H) menyatakan bahwa Al-Qur’an itu berupa isim musytaq,
diambil dari kata Al-Qur’an, bentuk jama’ dari kata qarinah yang berarti bukti.
Kitab Al-Qur’an dinamakan demikian karena sebagian Al-Qur’an membuktikan
kebenaran sebagian lain.
c. Abu Musa Al-Asy’ari (wafat 324 H) menyatakan bahwa lafadz Qur’an itu isim
musytaq yang diambil dari kata al-qar’u yang berarti mengumpulkan. Kitab
Al-Qur’an ini dinamakan demikian karena surat, ayat dan huruf-huruf Al-Qur’an
dikumpulkan menjadi satu dalam mushaf Al-Qur’an.
d. Az-Zujaj (wafat 311 H) mengatakan bahwa lafadz Al-Qur’an itu berupa isim
sifat, ikut wazan fu’lan yang diambil dari kata al-qar’u yang bermakna kumpul.
Karena semua surat, ayat, hukum dan kisah Al-Qur’an itu dikumpulkan menjadi
satu. Al-Qur’an mengumpulkan intisari semua kitab suci dan segala ilmu
pengetahuan.
e. Al-Lihyani (wafat 355 H) dan kebanyakan Ulama mengatakan bahwa kata
Al-Qur’an itu adalah mashdar berwazan ghufran yang diambil dari lafadz Qaraa
bermakna membaca. Kata Al-Qur’an dari bentuk mengucapkan mashdar, tetapi yang
dikendaki maf’ul (yang dibaca) sesuai dengan ayat 17-18 surat Al-Qiyamah.[1]
Dari kelima pendapat tersebut, pendapat
terakhir inilah yang dipandang lebih kuat dan lebih rajin sebab, pendapat
terakhir tersebut relevan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan ilmu sharaf.
Sedangkan empat pendapat yang lain tersebut lepas dari kaidah-kaidah nahwu dan
sharaf serta tidak relevan dengan ungkapan bahasa Arab.
2. Pengertian Al-Qur’an secara Terminologis
Secara terminologis Al-Qur’an mempunyai arti sebagai
berikut :
Pertama, Ulama mutakallim (ahli teologi Islam)
berpendapat bahwa Al-Qur’an itu kalam Allah yang qadim bukan makhluk terbebas
dari sifat-sifat kebendaan. Al-Qur’an adalah sifat yang qadim yang berhubungan
dengan kalimat-kalimat azali dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir
surat An-Nas.
Kedua, Ulama Ushuliyin, Fuqaha dan Ulama ahli
bahasa berpendapat, bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw, dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir surat An-Nas.[2]
Diantara Ulama ada yang memberikan definisi
Al-Qur’an dengan singkat hanya dengan menyebutkan satu atau dua identitas saja,
seperti :
القران هو الكلام
المنزل على النبي
Artinya :
“Al-Qur’an adalah kalam yang diturunkan kepada
Nabi”.
Dr. A. Yusuf Al-Qasim memberikan definisi
Al-Qur’an secara panjang lebar dengan menyebutkan beberapa identitasnya.
القرآن هو الكلام
المعجز المنزل على النبي المكتوب في المصاحف المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته
Artinya :
“Al-Qur’an ialah kalam yang mengandung mu’jizat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan
dengan mutawatir, membacanya bernilai ibadah”.
Definisi Al-Qur’an tersebut mencakup
unsur-unsur i’jaz, yang diturunkan kepada Nabi, tertulis dalam mushaf,
diriwayatkan dengan mutawatir dan membacanya bernilai ibadah.[3]
Ada pula yang memberikan definisi Al-Qur’an
secara sedang dengan menyebutkan tiga atau empat identitas Al-Qur’an.
القرآن هو الكلام
المعجز المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم المتعبد بتلاوته
Artinya :
“Al-Qur’an ialah
kalam yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
membacanya
bernilai ibadah”.
Ada Ulama yang membuat definisi Al-Qur’an
secara maksimal, dengan panjang lebar, menyebutkan semua identitas Al-Qur’an
yang meliputi : kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi,
diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf dan membacanya bernilai
ibadah, diawali dari permulaan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas.
Misalnya definisi Al-Qur’an dari syekh Ali
Ash-Shabuni, sebagaimana yang dinukil oleh DR. Abdul Djalal :
القرآن هو الكلام المعجز المنزل على خاتم الأنبياء
والمرسلين بواسطة الأمين جبريل المكتوب في المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد
بتلاوته المبدؤ بسورة الفاتحة والمختوم بسورة الناس
Artinya :
“Al-Qur’an ialah
kalam Allah yang mengandung mu’jizat, diturunkan kepada pamungkas para nabi dan
rasul dengan perantaraan Malaikat terpercaya Jibril, tertulis dalam mushaf yang
dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, yang
dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
Dengan demikian, dalam mendefinisikan
Al-Qur’an itu ada tiga kelompok ulama :
a. Ulama yang mendefinisikan Al-Qur’an secara singkat. Hanya dengan
menyebutkan dua identitasnya saja, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw
b. Ulama yang mendefinisikan Al-Qur’an secara sedang. Dengan menyebutkan tiga
atau empat identitasnya yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw, diriwayatkan secara mutawatir dan ditulis dalam mushaf.
c. Ulama yang membuat definisi Al-Qur’an secara maksimal dan panjang lebar.
Dengan menyebutkan semua identitas Al-Qur’an yang meliputi kalam Allah yang
mengandung mu’jizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, diriwayatkan secara
mutawatir, tertulis dalam mushaf dan membacanya bernilai ibadah, diawali dari
surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[4]
3. Nama-Nama Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci memiliki banyak
nama yang menunjukkan fungsi dan kedudukannya yang tinggi, disamping dinamai
Al-Qur’an, kitab suci ini juga memiliki nama-nama yang terkenal antara lain :
Al-Kitab, Al-Furqan, Adz-Dzikr, dan At-Tanzil. Masing-masing nama-nama tersebut
diambil dari ayat-ayat sebagai berikut :
a. Nama Al-Qur’an diambil dari surat Al-Baqarah ayat 185 :[5]
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Baqarah : 185)
b. Nama Al-Furqan diambil dari surat Al-Furqan ayat 1 :
001. Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam,(QS. Al-Furqan : 1)
c. Nama Adz-Dzikr diambil dari surat Al-Anbiya ayat 50 :
050. Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab
(peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah
kamu mengingkarinya?(QS. Al-Anbiya : 50)
d. Nama At-Tanzil diambil dari surat Asy-Syu’ara ayat 192 :
192. Dan sesungguhnya Al Qur'an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,(QS. Asy-Syu’ara : 192)
Nama At-Tanzil ini memberikan petunjuk bahwa
Al-Qur’an itu benar-benar wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Demikian Al-Qur’an memiliki banyak nama, Imam Az-Zarkasy
dalam kitabnya Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an menyebutkan 55 nama Al-Qur’an,
bahkan ada sementara ulama yang menyebutkan lebih dari 90 nama. Namun dr.
Shubhi Ash-Shaleh memandang terjadi kerancuan pemberian nama-nama Al-Qur’an
tersebut. Mereka tidak membedakan antara nama Al-Qur’an dengan sifat dan
fungsinya.[6]
4.
Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an
Al-Qur'an
tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun
2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2
periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung
selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan
surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan
periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan
surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan
(pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini
selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
c.
Pengumpulan
Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin
Tsabit, Ali bin
Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang
lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar,
kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu
banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah
wahyu diturunkan.
Pada masa
pemerintahan Abu Bakar
Pada masa
kekhalifahan Abu Bakar, terjadi
beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya
beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat
itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu
Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di
antara para sahabat. Abu Bakar
lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai
koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan
Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu
Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf
tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf
dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin
Affan, terdapat keragaman dalam cara
pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat
sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis
dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian
dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga
saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan
standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses
ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara
umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Suwaid bin
Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang
Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al
Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu
tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan
bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu
kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat
agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut
Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan
ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para
sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk
meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin
Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said
bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka
agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid
dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish
karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu
ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah
(mushaf al-Imam).
5. Pokok-pokok Kandungan Al-Qur’an
a. Aqidah
Salah satu kandungan poko-pokok Al-Qur’an
adalah masalah akidah. Bahkan masalah akidah (baca : tauhid) inilah merupakan
inti kandungan Al-Qur’an. Akidah secara etimologis berasal dari kata ‘aqada
ya’qidu-aqadan-aqidatan, yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh.
Setelah kata tersebut menjadi aqidah, maka ia berarti keyakinan.
Sedangkan secara etimologis (istilah) ada
beberapa pengertian tentang aqidak, antara lain, menurut Hasan al-Banna Aqidah
adalah :beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati,
mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun
dengan keragu-raguan.[7]
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir
aal-Jaza’iri, aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
(baca : bersifat aksiomatik) oleh manusia, berdasarkan akal, wahyu dan fitrah.
Kebenaran tersebut dipatrikan oleh manusia dalam hati serta diyakini kebenaran
dan keberadaannya secara pasti, sehingga segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran tersebut harus ditolak.[8]
Begitu penting kedudukan aqidah dalam Islam,
karenannya mudahlah dipahami jika Al-Qur’an, yang didalamnya sekitar 136 ayat
al-‘aqaid.[9]
Adapun ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi hal-hal sebagai berikut :
a) Illahiyat (segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah SWT seperti wujud Allah,
nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan Nya. Karena Allah tidak tampak (ghaib)
oleh manusia, maka untuk sekedar mendapat gambaran atau pengertian,
diberikanlah sifat-sifat Allah SWT dalam Al-Qur’an. Meskipun tetap harus
dicatat bahwa segala sesuatu yang terbayang di benak kita, sesungguhnya
bukanlah Allah, sebab Allah tak dapat dibayangkan. Dalam surat al-Syura ayat 11
dinyatakan bahwa :
011. (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis
binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(QS. Asy-Syuraa : 11).
Diantara sifat Allah yang disebut dalam
Al-Qur’an adalah Rabb yang berarti mendidik, memelihara, yang memiliki.
Kata tersebut disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 967 kali. Selain itu, Allah juga
memiliki sifat ar-Rahman dan al-Rahim (Yang Maha Pengasih dan
Penyayang). Dan masih banyak lagi sifat-sifat Allah sebagaimana terrumuskan
dalam al-asma’ al-husna yang jumlahnya 99 yang kesemuanya itu
menggambarkan kesempurnaan sifat-sifat Allah.
b) Nubuwat yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuk pembahasan
tentang kitab-kitab Allah, mukjizat dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an Nabi yang
disebut secara tegas jumlahnya ada dua puluh lima. Sedangkan kitab-kitab yang
telah diturunkan Allah ada empat yaitu 1) Zabur 2) Taurat 3) Injil dan 4)
Al-Qur’an. Disamping itu masih ada shuhuf-shuhuf yang lain, seperti yang
diturunkan kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan juga Musa as.
c) Ruhaniyyat yaitu pembahasan yang berkaitan dengan alam metafisik (yang bersifat ghaib
pula), seperti tentang malaikat, Jin, Iblis, Syaithan dan sebagainya.
d) Sam’iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang bisa diketahui melalui as-sama’
(pendengaran yang berdasar dalil naqli, yaitu Al-Qur’an dan al-sunnah
al-shahihah). Seperti pembahasan tentang surga. Neraka, alam barzah atau alam
kubur, tanda-tanda kiamat dan sebagainya.[10]
b. Ibadah
Isi kandungan penting kedua dalam Al-Qur’an setelah aqidah ialah ibadah.
Dalam Al-Qur’an, terdapat sekitar 140 ayat[11]
yang berisikan ihwal ibadah (ayat al-‘ibadat). Sama halnya dengat ayat
al-aqa’id, ayat al-‘ibadat pada umumnya juga bersifat jelas, tegas dan rinci
dalam hal normanya meskipun kurang pada tatacaranya.
Menurut Al-Qur’an, tujuan utama dan pertama dari penciptaan jin dan manusia
di muka bumi ialah agar mereka beribadah kepada Allah SWT. (liya’buduni),
seperti tertera dalam ayat :[12]
056. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat : 56)
c. Wa’du dan Wa’id
Isi kandungan Al-Qur’an lainnya yang
juga mempunyai peran penting bagi kehidupan umat insani ialah janji dan ancaman
buruk, yang dalam istilah tafsir masing-masing lebih populer dengan sebutan
al-wa’du dan al-wa’id. Janji baik dan ancaman buruk ini terasa penting, karena
dalam kenyataannya, di antara karakteristik manusia ialah menyenangi janji baik
dan memperhatikan ancaman buruk. Senapas dengan janji baik dan ancaman buruk
yang tetap bernilai juga pembinaan kehidupan bani Adam itu, maka tidaklah naif keberadaan
ayat al-wa’du dan ayat al-wa’id yang menurut perhitungan al-Zuhaili, masing
masing berjumlah sekitar 1.000 ayat.[13]
Diantara contoh al-wa’du (janji baik) ialah ayat-ayat yang menjanjikan akan
memasukka orang-orang yang saleh ke dalam surga, memberikan ampunan (maghfirah)
serta rezki yang mulia atau pembalasan-pembalasan baik lainnya seperti dapat
dipahami dari beberapa ayat di bawah ini :
122.
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan
ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?
123. (Pahala
dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula)
menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
124.
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita
sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. Al-Nisa’ : 122-124)
074. Dan
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.
Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia.(QS. Al-Anfal :74)
097.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Nahl : 97)
107.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah
surga Firdaus menjadi tempat tinggal,
108. mereka
kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.(QS. Al-Kahfi : 107-108)
Adapun contoh ayat al-wa’id, yakni ayat-ayat
yang berisikan ancaman buruk ialah seperti :[14]
093. Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya.(QS. Al-Nisa’ : 93)
178. Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.(QS. Al-Baqarah : 178)
056. Adapun
orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat
keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong. (QS. Ali-Imran : 178)
014. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. Al-Nisa’ : 14)
d. Syari’ah
Syari’ah secara bahasa berasal dari kata
syir’ah atau syari’ah yang bearti jalan yang jelas (al-thariq al-wadhih).[15]
Dalam arti luas, syari’ah adalah seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma
agama agar diataati, baik berkaitan dengan tingkah laku individual dan
kolektif. Syari’ah dalam pengertian luas identik dengan al-din (agama) yang
juga berlaku untuk umat-umat Nabi yang dulu. Allah SWT berfirman :
013. Dia telah
mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).(QS. Al-Syuura : 13)
Dalam konteks pembagian kandungan Al-Qur’an
ini, yang dimaksud syari’ah adalah syari’ah dalam arti sempit, atau orang menyebut
dengan istilah fiqih, yakni hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’
yang mengatur tingkah laku manusia yang meliputi ibadah (ritual), mu’amalah
(transaksi) uqubah (pidana) dll.
Dalam AL-Qur’an banyak ayat-ayat berbicara
tentang hal itu. Misalnya tentang ibadah shalat dapat dilihat dalam QS.
Al-Ankabut : 45 :
045. Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Ankabut : 45)
Tentang zakat dapat dilihat dalam QS.
At-Taubah : 60
060.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)
Tentang ibadah haji dapat dilihat di QS.
Ali-Imran : 97:
097. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(QS. Ali-Imran : 97)
Tentang transaksi dapat dilihat dalam QS.
Al-Baqarah : 279-280
179. Dan dalam
qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.
180. Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib
kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 279-280)
,282, Al-Anfal : 56,58,
Tentang pidana dapat dilihat Qs. Al-Baqarah :
178 :
178. Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. (QS. Al-Baqarah : 178)
An-Nisa’ : 92,93, Al-Maidah : 38 dsb.
e. Akhlak
Aklak, yang dalam bahasa Indonesi lebih dikenal dengan istilah etika atau
moral, merupakan salah satu isi kandungan AL-Qur’an yang sangat mendasar.
Urgensi ajaran akhlak ini, antara lain
dapat dipahami dari pernyataan Rasulullah saw ketika beliau bersabda :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“sesungguhnya
aku diutus (ke muka bumi ini) untuk menyempurnakan akhlak.”
Mengingat di antara tujuan utama dari kenabian dan kerasulan Muhammad saw
adalah untuk menyempurnakan akhlak, maka sungguh pada tempatnya jika Al-Qur’an
al-Karim kita jumpai sejumlah ayat yang mengatur soal akhlak. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa sumber akhlak paling utama dalam Islam ialah Al-Qur’an
al-Karim. Ketika Aisyah r.a ditanya salah seorang sahabat tentang akhlak
Rasulullah saw, ia menjawab dengan tegas bahwa (sumber) akhlak Rasulullah saw
adalah Al-Qur’an :
كان خلقه القرآن[16]
“(berkata
Asiyah r.a) : Adalah akhlak Rasulullah saw itu Al-Qur’an.”
Akhlak memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia,
dan bahkan juga bagi kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.
Rasulullah saw sendiri sebagaimana dinyatakan dalam AL-Qur’an, berhasil
melaksanakan misinya__ menyampaikan risalah Islamiyah__ antara lain justru
disebabkan komitmen dan konsisten akhlaknya yang sangat agung, dan karenanya
beliau menjadi uswatun hasanah (contoh yang baik) bagi umat yang
mengikutinya.[17]
004. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam : 4)
021.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab : 21)
f. Sejarah (Kisah-kisah Al-Qur’an)
Kisah merupakan isi kandungan lain dalam Al-Qur’an. Kitab samawi terakhir
ini menaruh perhatian serius akan keberadaan masalah kisah di dalamnya. Dalam
Al-Qur’an tersebut 26 kali kata qashash dan seakar denganya, tersebar 12 surat
dan 21 ayat. Lebih dari itu, dalam Al-Qur’an ada surat khusus yang dinamakan
surat Al-Qashash, yakni surat ke-28 yang terdiri atas 88 ayat, 1.441 kata, dan
5.800 huruf.[18]
Kisah yang ada pada Al-Qur’an, pastilah kisah benar dan baik yang
bermanfaat bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an sendiri menjuluki dirinya dengan
kisah-kisah terbaik (ahsan al-qashash). Adapun tujuan dari pengungkapan kisah
itu sendiri seperti ditegaskan Al-Qur’an antara lain ialah agar manusia
mendorong mereka supaya berpikir. Perhatikan ayat-ayat dibawah ini :
062. Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar,
dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah,
Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Ali-Imran : 62)
176. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir. (QS. Al-‘A’raf : 176)
003. Kami menceriterakan kepadamu kisah yang
paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu
sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
(QS. Yusuf : 3)
111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.(QS. Yusuf : 111)
Penempatan dan pemuatan berbagai kisah nyata
(sejati) dalam Al-Qur;an, selaras dengan karakter manusia yang ada pada umumnya
menyukai sejarah, berita bahkan tidak jarang berita gosip yang buruk sekalipun.
Disinilah terletak manfaat keberadaan kisah sejati yang diangkat dan diungkap
Al-Qur’an.[19]
g. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan salah satu bagian dari isi
kandungan Al-Qur’an yang tidak kurang pentingnya bagi kehidupan manusia. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyinggung tentang persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi,
oleh para ahli tafsir disebut dengan ayat al-kauniyah atau ayat al’ulum.
Menurut penyelidikan Thantawi Jauhari, salah seorang mufassir terkenal dengan
aliran tafsir bil-Ra’yi, dalam Al-Qur’an terdapat 750 ayat al-‘ulum,[20]
sementara menurut perhitungan Al-Ghazali, yang tidak jauh berbeda dengan
Thantawi, ayat al-kauniyah berjumlah 763 ayat.[21]
Masih dalam konteks Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga
dapat dipahami dari sekian banyak Al-Qur’an yang menyeru manusia supaya
berpikir, melihat dan merenungkan alam semesta berkut berbagai isi yang ada di
dalamnya. Perhatikan ayat-ayat di bawah ini :[22]
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang
ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(QS. Yunus : 101)
185. Dan apakah mereka tidak memperhatikan
kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan
kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi
mereka akan beriman selain kepada Al Qur'an itu? (QS. Al-A’raf : 185)
017. Maka apakah mereka tidak memperhatikan
unta bagaimana dia diciptakan,
018. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
019. Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan?
020. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?(QS. Al-Ghasiyyah : 17-20)
h. Filsafat
Sebagaimana ditulis Muhammad Yusuf Musa,
karakter dasar Al-Qur’an itu adalah mengajak manusia untuk berfilsafat. Bukti
bahwa Al-Qur’an mengajak berfilsafat antara lain bahwa ia juga mengajak untuk
berdebat (jadal) dengan masyarakat Arab yang ketika itu sudah memiliki tradisi,
pemikiran dan budaya.[23]
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
berbicara tentang persoalan filosofis, antara lain siapa sesungguhnya pencipta
langit dan bumi. Ini tampak dalam beberapa Firman Allah SWT :
025. Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu
mereka akan menjawab : "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman : 25)
Dalam ayat 38 surat al-Zumar juga dikatakan :
038. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka
menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku".
Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.
Informasi bahwa Tuhan sebagai pencipta langit
dan bumi juga dikuatkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang lain, seperti :[24]
003. Dia menciptakan langit dan bumi dengan
(tujuan) yang benar, Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan
hanya kepada-Nya-lah kembali (mu). (QS. At-Taghabun : 3)
012. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit
dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah,
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.(QS. At-Thalaaq : 12)
[1] Subhi as-Salih, Mabahis fi Ulum
Al-Qur’an. (Beirut : Dar Al-mililmalayin, 1974), hlm. 19
[2] Az-Zaqani, Manabil Al-Irfan fi Ulama
Al-Qur’an, (Beirut : Dar Ihya At-Turas Al-Arabi, t.t.)hlm. 18
[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya
: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 9
[4] Ibid., hlm. 11
[5] Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul
Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992)hlm. 21
[6] Subhi as-Salih, Mabahis fi..hlm, 21
[7] Hassan al-Banna, Majmuatu al-Rasail , (Beirut
Muassasah al-Risalah tth)hlm. 465
[8] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Aqidatul
Mukmin, (Kairo Maktabah al-Kulyyat, 1978)hlm. 21
[9] Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta
: UI-Press, 1982)
[10] Fajrul Munawir, Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005)hlm. 96-97
[11] Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul
al-Fiqh, (Jakarta-Indonesia: al-Majelis al-A’la li-Syuun al-Da’wah
al-Islamiyyah, 1973)
[12] Muhammad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, cet.I
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013)hlm. 97
[13] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir ak-Munir
fi al-syari’ah wa al-‘Aqidah wal al-manhaj. J.1-2, (Beirut: Lubnan, 1411
H/1991 M), hlm. 43
[14] Ibid., 100-102
[15] Al-Raghib al-Asfihani, Mu’jam
Mufradat Al-Fadz al-Qur’an.... hlm. 265
[16] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
(Tafsir Ibn Katsir) , J.4, (Singhafurah, al-Haramayn, t.t), hlm. 403
[17] Muhammad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, hlm.
103
[18] Nawawi al-Bantani, al-Tafsir al-Munir ,
j.2, (Indunisinya: Dar Ihya’al-Kutub al’Arabiyyah, t.t)hlm. 135.
[19] Muhammad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, hlm.
107-109
[20] Thantawi Jauhari, Tafsir al-Jawahir, J.1,
(t.k: t.p., t.t)hlm. 3
[21] Tb. Bakhtiar Rivai, Islam dan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi : Tantangan Pengembangannya di Bumi Pancasila, dalam
“Seminar Islam Menghadapi Tantangan Zaman kini dan mendatang”, Jakarta, IAIN
Syarif Hidayatullah, Lembaga Penelitian, 1982, hlm. 49
[23] Muhammad Yusuf Musa, Al-Qur’an wa
Falsafah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1996)hlm. 29
[24] Fajrul Munawir, Al-Qur’an, hlm.
116-119
0 Response to "Ulumul Qur'an (Ulya A)"
Post a Comment