BM. " KESALAHAN-KESALAHAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH "
KESALAHAN-KESALAHAN DALAM SHALAT
BERJAMA’AH
ustadzah : Mushokhihul
by : Itus, Eka, Husna & Ita
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat Berjama’ah
Salat
merupakan ibadah yang terdiri dari atas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan
syarat-syarat tertentu.
Salat berjamaah
adalah salat yang dikerjakan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih,
seorang menjadi imam dan yang lain menjadi makmum dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan. Melaksanakan salat berjamaah hukumnya sunah muakkad, artinya
sunah yang dikuatkan atau dianjurkan. Melaksanakan salat berjamaah lebih utama
dibandingkan salat sendirian (munfarid). Keutamaan melaksanakan salat berjamaah
antara lain di jelaskan dalam hadis dari Ibnu Umar r.a:
قوله
تعالى: عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله. قال: "الصلاة عليه الأسبقية على
الصلاة وحدها بقدر درجة
Artinya
: Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: "shalat berjamaah
itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat. (H.R. Muslim)
Dengan demikian, orang yang melaksanakan sholat berjamaah
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan akan memperoleh keutamaan 27
kali lipat dibandingkan orang sholat sendirian. melaksanakan sholat berjamaah
di masjid lebih utama dibandingkan sholat di rumah. Abu hurairah berkata:
رسول الله. أي صلاة يعلمنا شروط الحصول على الاتجاهات ، في
المسجد عندما كانت على مكالمة على الدعوة الى الصلاة .
Artinya: Bahwa Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita
ketentuan-ketentuan untuk mendapatkan petunjuk, yaitu sholat di masjid ketika
sudah di serukan suatu azan.
B. Kesalahan-Kesalahan dalam Shalat
Berjama’ah
1. Mendirikan
Jama’ah Kedua di saat Jama’ah yang pertama belum selesai
Hal
ini termasuk kesalahan yang banyak terjadi. Biasanya terjadi ketika imam sudah
duduk tahiyyat akhir, sebagian orang yang datang dan mendapati imam sudah di
penghujung shalat (hampir selesai), maka mereka mendirikan jama’ah yang kedua
sebelum imam salam. Hal ini merupakan satu kesalahan, karena mereka harus ikut
berjama’ah dengan ima yang pertama atau mereka menunggu jika imam sedang
tasyahud akhir, hingga imam salam barulah kemudian mereka mendirikan jama’ah
yang kedua.
Ada
beberapa pendapat para ulama mengenai hukum dari mendirikan jama’ah kedua
disaat jama’ah yang pertama belum selesai[1] :
a.
Hukumnya: Tidak diragukan akan haramnya jamaah kedua yang
didirikan sementara jama’ah pertama belu selesai baik masjid itu mempunyai imam rawatib maupun
tidak ataupun Jamaah kedua yang didirikan karena adanya perbedaan madzhab atau
perbedaan pendapat. Pengharamannya karena beberapa alasan, di antaranya:
1) Ini adalah
amalan yang muhdats (perkara baru) dalam agama yang belum pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para ulama sepeninggal
beliau.
2) Memecah
belah persatuan kaum muslimin. Dan ini sangat bertentangan dengan tujuan
didirikannya shalat jamaah yang tidak lain untuk mempererat kesatuan kaum
muslimin.
3) Akan terjadi
kegaduhan di dalam shalat dengan saling berkumandangnya takbir antara satu imam
dengan imam di jamaah lainnya. Terlebih jika shalatnya adalah shalat jahriah,
tentunya suara imam/jamaah satu akan ‘bertabrakan’ dengan suara imam/jamaah
kedua
b.
Hukumnya: Diperbolehkan apabila masjid-masjid yang berada di pinggir jalan atau di tempat
umum karena sangat sulit untuk diatur
silih bergantinya jamaah. Dan melarang jamaah kedua dalam keadaan seperti ini
akan menyebabkan banyak orang akan kehilangan kesempatan untuk shalat
berjamaah. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah Al-Kuwaitiah
(22/47), “Adapun jika masjid berada di pasar, atau tempat lalu lalang manusia,
atau tidak memiliki imam rawatib, atau punya imam rawatib, tetapi dia
memberikan izin kepada jamaah kedua, maka tidak dimakruhkan adanya shalat
jamaah yang kedua, ketiga, dan seterusnya, menurut ijma.”
c.
Hukumnya: Boleh berdasarkan kesepakatan para ulama.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila sebuah masjid tidak memiliki imam
rawatib maka tidak dimakruhkan mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih.
2.
Mengangkat orang yang tidak berhak menjadi imam [2]
Kami melihat banyak orang yang enggan untuk mempersilahkan seorang pemuda
belia (remaj) untuk menjadi imam meski ia lebih paham bacaan Al-Qur’an. Mereka
kemudian mempersilahkan salah seorang pemimpin mereka atau orang yang paling
tua untuk menjadi imam meski tidak bisa surat al-fatihah dengan baik.
Rasulullah saw menjelaskan aturan-aturan siapa yang berhak menjadi imam
shalat. Rasulullah bersabda: “Hendaklah
yang menjadi imam itu orang yang paling mengerti Al-Qur’an, jika semuanya sama
maka yang paling mengerti sunahlah yang paling berhak jika semuanya sama maka
yang paling lebih dahulu hijrah, jika dalam hal ini merek juga sama, maka yang
paling tualah yang paling berhak menjadi imam’.
Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa jabatan imam shalat seyogyanya
diberikan kepada orang yang paling hafal ayat al-qur’an dan mengetahui pula
hokum-hukumnya.
Para ulama Komite tetap (Lajnah
Ad-Daimah) Saudi Arabia, berfatwa bahwa seorang anak laki-laki yang masih
kecil (belum baligh) sah untuk menjadi imam karena adanya sabda nabi saw. ‘Hendaklah yang menjadi imam itu orang yang
paling mengerti Kitab Allah”. Bukhari meriwayatkan dari ‘Amr bin salamah
al-Jurmi, ia berkata: ayahku datang kerumah setelah bertemu dengan nabi saw, ia
mengatakan bahwa rasulullah bersabda: “Jika shalat telah tiba maka hendaklah
orang yang paling mengerti al-qur’an yang menjadi Imam.” Amr berkata: “Mereka
lalu melihat dan tidak menemukan orang yang paling mengerti al-qur’an selain
saya. Mereka kemudian mempersilahkan saya untuk menjadi imam, ketika itu saya
baru berumur 6 atau 7 tahun.
3.
Shalat sendirian dibelakang shaf
Hal ini merupakan kesalahan yang sering sekali terjadi secara luas
diperbagai masjid, meskipun banyak orang mengetahui bahwa Nabi saw melarang
demikian. Akan tetapi mereka berdalil hadis abu bakrah bahwa ia ruku’ sebelum
mencapai shaf. Kemudian ia masuk shaf. Lalu hal itu ia sampaikan kepada nabi
saw. Kemudian rosululloh saw bersabda: “semoga Allah menambah semangatmu dan
jangan ulangi lagi”. Hadis ini justru menjadi hujjah untuk mereka. Karena abu
bakrah tidak menyempurnakan sholatnya dibelakang shaf, kan tetapi ia masuk
kedalam shaf. Kemudian nabi saw melarangnya untuk melakukannnya lagi,
sebagaimana dalam sabdanya : “dan jangan ulangi lagi”.
Wabishah meriwayatkan, bahwa nabi saw melihat seorang laki-laki sholat
dibelakang shaf sendirian, lalu rosululloh saw menyuruhnya untuk mengulangi
sholat. Ali bin syaiban berkata, kami keluar untuk bertemu dengan nabi saw lalu
kami membaiatnya dan shalat dibelakangmu. Nabi saw melihat seorang laki-laki
shalat sendirian dibelakang shaf, kemudian nabi saw berdiri hingga orang
laki-laki tersebut selesai shalat. Nabi saw bersabda : “ulangilah sholatmu,
karena tidak sah sholat orang dibelakang shaf”.
Syekh al-bani berkata, antara kedua hadis ini, yakni hadis abu bakrah dan
wabishah tidak ada pertentangan sama sekali. Karena abu bakrah tidak sholat
sendirian dalam shaf, maka nabi saw tidak menyuruhnya untuk mengulangi
sholatnya. Sedangkan laki-laki yang disebutkan dalam riwayat wabishah yang sholatnya
sendirian dibelakang shaf tadi, maka nabi saw menyuruhnya untuk mengulangi
sholatnya. Jelas tidak ada pertentangan sama sekali diantara kedua hadis
diatas. Karena itu, imam ahmad mengkompromikan hadis-hadis ini. Abu daud
berkata, (dalam masailnya, halaman 53) saya mendengar ahmad ditanya tentang
seorang laki-laki yang ruku” ruku tidak didalam shaf sholat, kemudian ia
berjalan hingga masuk kedalam shaf sholat dan imam telat bangkit dari rukunya
sebelum ia sampai kedalam shaf. Ahmad menjawab : “ ia memperoleh satu raka’at”.
Dan jika ia shalat dibelakang shaf sendirian, ia harus mengulangi sholatnya”.
Adapun jika ia tidak menemukan celah dalam shaf, maka ia boleh sholat sendirian
dibelakang shaf dan tidak ada masalah baginya.
Tanya Jawab
Pertanyaan:
1.
Lebih utama mana antara melakukan shalat sendiri
di awal waktu atau shalat berjama’ah di akhir waktu?
2.
Melakukan shalat baru ketika shalat pertama
belum selesai itu hukumnya haram, tapi apabila kita tetap melakukannya apakah
shalat itu sudah menggurkan kewajiban atau belum?
3.
Hukum makmum mendahului, bareng imam itu adalah
dilarang, tapi kalau sebaliknya makmum mengakhiri/telat ketika gerakan imam
sudah selesai. Misal pada tahiyat akhir imam sudah membaca tahiyat kemudian
salam sedangkan makmumnya imin menyelesaikan bacaan shalatnya sehingga telat
ketika salamnya, bagaimana hukumnya dan sebaliknya?
4.
Bagaimana sebaiknya, apabila ketika shalat
berjama’ah aurat makmum terlihat misal telapak kakinya sedangkan makmum
mengetahuinya?
5.
Apabila di suatu masjid yang luas ketika ada
seorang kakek ingin berjamaah ternyata pada saff terakhir terdapat satu tempat
kosong yang posisinya berada di pojok dan jauh dari pintu. Namun si kakek ingin
mendapatkan takbiratul ikhram namun mendirikkan saaf baru dibelakang. Bagaimana
baiknya? Apakah menempati saaf yang berada di pojok atau mendirikan saff
sendiri dibelakang?
Jawaban:
1.
Semua itu tergantung pada situasi dan kondisi
karena sesungguhnya keduanya sama-sama utamanya. Melakukan shalat di awal waktu
dan jama’ah dua-duanya sangat utama. Namun apabila keadaanya seperti itu,
alangkah kita berjamaah, tapi apabila waktu shalat sudah hampir habis dan tidak
ada yang berjamaah maka lebih baik melakukan shalat sendiri. Dan lebih utama apabila melakukan shalat
berjama’ah diawal waktu. Karena sesungguhnya shalat jama’ah tidak hanya
dilakukan di masjid tapi dimanapun.
2.
Terdapat dua hukum yang satu haram dan yang satu
boleh. Haram/dilarang ketika berjamaah dimasjid itu ada imam rawatibnya. Jadi
apabila kita melakukan jama’ah shalat baru ketika jamaah pertama belum selesai
maka harus mengulangnya lagi, namun apabila keadaannya kita sedang dalam
perjalanan, berada di tempat umum seperti pasar, dll maka diperbolehkan karena
disitu banyak orang yang berlalu lalang dan mengantri.
3.
Boleh apabila jaraknya tidak terlalu lama, tapi
sesungguhnya shalat/bacaan makmum itu sudah ditanggung oleh imam. Jadi lebih baik makmum langsung mengikuti
gerakan imam.
4.
Sebaiknya adalah makmum langsung menutup
aurat/telapak kaki imam. Karena apabila makmum membiarkan aurat imam terbuka
maka shalatnya tidak sah begitupun shalatnya makmum. Seperti sabda Nabi ketika
Nabi sedang shalat cucunya menggendong di punggung beliau ketika beliau sedang
ruku kemudian beliau berhenti sejenak ketika shalat dan mendudukan cucu nya.
Jadi melihat dalil tersebut maka diperbolehkan.
5.
Lebih baik menempati saff yang berada di pojok
walaupun harus ketinggalan takbiratul ikhram. Karena dilarang membuat saff baru
apabila yang didepan masih ada yang kosong.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(4/222).
Al-Misri,
Mahmud.2007. kesalahan-kesalahan dalam praktik shalat. Yogyakarta : Mitra
Pustaka.
[1]
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
(4/222).
[2] Mahmud Al Misri.kesalahan-kesalahan
dalam praktik shalat.(Yogyakarta : Mitra Pustaka:2004)
0 Response to "BM. " KESALAHAN-KESALAHAN DALAM SHALAT BERJAMA’AH ""
Post a Comment