Lokalisasi Prostitusi Dilihat dari Kaidah Fiqhiyah
Oleh : Ekmil Lana Dina
Asrama : Non Pondok , Kontak : 085712461668
LOKALISASI PROSTITUSI
Penyetujuan atas lokalisasi prostitusi menuai
kontroversi. Sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyetujui lokalisasi
prostitusi bertujuan untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS yang semakin mewabah
di Indonesia. Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan
NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS menjadi dasar atas penyetujuan
lokalisasi prostitusi.
Menurut
Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) dr Imam Rajidi
SpOG, perkataan beliau ketika menyetujui lokalisasi prostitusi seperti ini
“Kalau dilokalisir, lama-lama pelacurnya akan habis dengan sendirinya.”[1]
Pernyataan tersebut dilontarkannya ketika jumpa pers Pertemuan Evaluasi Program
Penanggulangan HIV dan AIDS di Jakarta.
Efek
negatif perzinaan dapat dikurangi dengan terwujudnya lokalisasi prostitusi.
Namun justru terdapat anggapan bahwa hal tersebut sama dengan menghalalkan
adanya perzinaan. Sebagaimana yang dilontarkan oleh KH Abdusshomad Buchori,
Ketua MUI Jatim, “Tidak ada alasan mendasar untuk tidak menutup kawasan
pelacuran. Sebab daerah pelacuran dapat dipastikan sebagai sarang menjamurnya
penyakit kelamin seperti HIV dan AIDS.”[2]
Wajar jika terdapat perbedaan dalam pengambilan kebijakan, nantinya tergantung
bagaimana kelanjutan kontrol dari lokalisasi prostitusi itu sendiri.
Kontrol
yang sistematis dan sosialisasi guna menyadarkan Perempuan Pekerja Seks (PPS) diharapkan
dapat membuat PPS sadar akan adanya pekerjaan yang lebih baik daripada harus
mengorbankan harga dirinya. Dalam wujud nasional yang nyata adalah terbentuknya
Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI). Organisasi tersebut dalam naungan
Negara sehingga kegiatannya adalah legal.
Tulisan ini akan membahas tentang penyetujuan lokalisasi prostitusi atas dasar Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang
Penanggulangan HIV-AIDS. Kemudian hasil tersebut ditinjau
dari sudut pandang Fiqh, khususnya dengan dalil kaidah fiqih.
Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan
prostitusi yang semakin marak, NU berpendapat bahwa dengan adanya lokalisasi
akan mengurangi perzinaan. Nahdlatul Ulama’ juga turut andil dalam upaya
mengurangi prostitusi sehingga virus HIV/AIDS akan terminimalisir. Namun apakah
fatwa NU mengenai kebijakan diadakannya lokalisasi prostitusi dapat menghilangkan
prostitusi di Indonesia?
Menurut penulis, adanya lokalisasi prostitusi
dinilai tidak akan langsung menghilangkan prostitusi di Indonesia namun hanya
dapat meminimalisirnya. Seperti yang kita tahu bahwa penyebaran HIV/AIDS
merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia. Sehingga dengan adanya lokalisasi
prostitusi, negara dapat meminimalisir
penyebaran HIV/AIDS.
Fatwa NU
tentang Lokalisasi Prostitusi
Menurut
keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke- XXXI di Boyolali Solo Jawa Tengah 29
November – 01 November 2004 memutuskan melegalkan lokalisasi prostitusi bukan
taghyir munkarat, bahkan membenarkan, menolong, dan melestarikan kemaksiatan
itu dan hukumnya adalah haram. Upaya taghyir munkarat justru dengan penutupan
tempat-tempat maksiat dan memberikan hukuman kepada para pelakunya. Mereka
mendasarkan pada dalil al-Qur’an surat Al-Isra’ 32, Surat al-Isra’ ayat 151,
surat al-Maidah ayat 2.[3]
Jadi fatwa NU tidak mengharamkan lokalisasi prostitusi. Apabila
pelacuran dianggap dosa, maka perluasan industri seks juga harus dipandang
sebagai cara yang gagal untuk mempertahankan tindakan moral yang ideal.
Sehingga apalah artinya melarang pelacuran jika merehabilitasi pelacuran.
Penting untuk kita semua, tidak memandang perempuan sebagai sosok yang salah
dalam pelaku pelacuran, namun juga memandang dari kaum laki-laki ataupun
pengusaha industri, mengapa sampai perempuan melakukan hal sedemikian rupa.
Analisis Fatwa
NU terhadap Dalil Kaidah Fiqih
Jika diamati,
fatwa NU berdasarkan keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke- XXXI tentang
pelegalan lokalisasi prostitusi terhadap dalil kaidah fiqih
sangatlah relevan. Kecocokan fatwa NU terhadap dalil kaidah fiqih, seperti
berikut :
1.
منزلة الامام
من الرعية منزلة الولي من اليتيم
“Kedudukan
Imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.[4]
Dengan demikian tindakan penguasa tidak boleh hanya sekedar hawa nafsu,
tindakan penguasa harus dapat membawa kebaikan untuk rakyat. Sehingga tindakan
Negara dengan adanya lokalisasi bukan suatu kesalahan, karena untuk kemaslahatan.
2.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“Tasharruf
(tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.[5]
Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan
dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa
adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan umat. Kaitannya kaidah tersebut
dengan lokalisasi yaitu pencegahan penyebaran HIV/AIDS dengan munculnya
lokalisasi adalah tindakan yang benar, karena tindakan tersebut untuk
kepentingan bersama.
3.
المكبر لا يكبر
“Yang sudah diperbesar tidak boleh diperbesar”.[6]
Kaidah
tersebut menegaskan bahwa dengan adanya lokalisasi prostitusi, harus disertai
dengan kontrol dan sosialisasi agar dapat mengurangi tindakan lain yang lebih
besar bahayanya. Dengan adanya lokalisasi, diharapkan penyebaran AIDS bisa
dideteksi karena AIDS adalah jenis penyakit menular yang membahayakan bagi
orang lain. Para pengidap AIDS boleh dilokalisasikan untuk deteksi dan
pencegahan penularan.
Kesimpulan
Diperbolehkannya lokalisasi prostitusi harus
disertai dengan pemahaman yang valid bahwa diperbolehkannya hal tersebut untuk
membatasi penyebaran wabah HIV/AIDS. Yang mana tujuan tersebut selaras dengan dalil
kaidah fiqih dan fatwa NU. Selain itu dengan terciptanya lokalisasi, negara
dapat memantau dan memberikan sosialisasi-sosialisasi penyadaran bahwa masih
terdapat banyak lapangan pekerjaan yang lebih bermartabat daripada harus
berkutat dengan penyerahan harga diri.
[1]
Fimadani, “Kalau dilokalisir, lama-lama
pelacurnya akan habis dengan sendirinya”, di http://news.fimadani.com/read/2014/02/05/inilah-dalil-yang-digunakan-nu-bolehkan-lokalisasi-pelacuran/ (diakses Rabu, 8 Oktober 2014)
[2] Ketidaksetujuan atas lokalisasi, lihat di http://www.globalmuslim.web.id/2010/11/mui-pelacuran-dolly-harus-segera.html (diakses Sabtu, 25 Oktober 2014)
[3] Fatwa NU ke- XXXI, Lihat di http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/ (Diakses Ahad 26 Oktober 2014)
[4] Drs. H. Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh
(Al-Qowaidul Fiqhiyyah). Jakarta : Kalam Mulia hlm 62.
[5] Ibid hlm 61.
0 Response to "Lokalisasi Prostitusi Dilihat dari Kaidah Fiqhiyah"
Post a Comment