Laku Sufi Versi Santri Ala WeHa Sebuah Catatan Tepi Kitab Muhtashor Ihya'ulumuddin
Sebuah Catatan Tepi Kitab Muhtashor Ihya'ulumuddin
Oleh ; M. Ariffur R.
Kita semua tau dan faham tentang tata aturan yang ideal dalam
berfikir sehat, dan kitapun semua sudah faham akan pentingnnya berfikir kitis
namun tetap sehat dan tidak apatis, agar tidak terjebak dengan lingkar
kejumudan yang selama ini menjadi momok kita bersama dan selalu membelenggu
kemerdekaan kita dalam berfikir. Meski terasa sulit bahkan hampir mustahil meraih
predikat mujtahid tak lantas kita menganggap gerbang telah rapat tertutup bagi
kita. Tak mampu mencapai bukan berarti tak mungkin mendekat, tak mampu
manunggal bukan berari tak mungkin memandang dan bertaqorrub, demikianlah
kiranya istilah yang sesuai untuk menggambarkan suatu keadaan yang sering kita
alami dalam kebuntuan hidupan ini, yang juga patut kita fahami bersama tentang
pentingnya suatu proses dalam menentukan arah perjalanan hidup yang dalam
bahasa lain disebut laku (lelaku).
Orang-orang terminal akan sangat lucu dan mengherankan manakala
ngobrol babagan tasawuf, pun dengan orang-orang pasar akan terdengar risih
ditelinga manakala obrolannya tentang laku toriqoh, laku sufi dan sebagainya
yang berkaitan dengan itu semua. Bukan su’udzon dan bukan meremehkan mereka,
sebab kami berbicara dalam ranah etika yang lebih pada setandar kepatutan dan
setandar kepantasan. Kalau ada santri lewat halaqoh-halaqoh, diskusi-diskusi
lintas pemahaman, dan jagongan-jagongan ala pesantren memperbincangkan hal itu
semua, yang demikian adalah menjadi pemandangan biasa dan sangat wajar.
Seperti halnya yang dilakukan oleh santri-santri Wahid Hasyim
setiap hari sabtu pagi yang merupakan salah satu kegiatan rutin pondok, iya, ngaji
Bapak biasa para santri menyebutnya.
Kesempatan itu adalah kesempatan yang sangat berharga bagi kami para santri,
karena selain bisa ngaji langsung dengan Pak Kiai (Bapak pengasuh), kesampatan
itu juga merupakan satu-satunya kesempatan bagi para santri untuk bersama-sama secara
berjama’ah mengembarakan ruh rubbubiyahnya lewat bacaan-bacaan wirid yang terangkai
dalam hizib bayumi yang dibimbing langsung oleh Bapak pengasuh (Pak Kiai), bagi
orang-orang pesantren tradisi yang semacam ini adalah merupakan aktifitas
ruhaniyah dalam rangka menyongsong hidayah Allah SWT. yang juga merupakan
bentuk kerinduan akan hadirannya Tuhan dalam diri mereka. Pada kesempatan itulah
biasanya Bapak pengasuh (Pak Kiai) memberikan wejangan-wejanganya dengan bahasa
yang lugas dan selalu relevan dengan zaman, meski yang dikaji adalah Muhtashor
Ihya’ulumuddin ringkasan kitab agung karya sang hujjatul islam Imam Al-Gozali.
Pernah suatu kesempatan Bapak demikian semua santri memanggil
beliau (Bpk Pengasuh) memberikan pemahaman baru tentang laku sufi (konsep
tasawuf) versi beliau kepada para santri, konsep tasawuf yang selama ini oleh
halayak rame dipandang rumit dan jelimet dalam memahaminya dan terkesan saklek oleh
beliau justru menjadi sebuah kajian yang sangat menarik dan mudah difahami. Beliau
memadatkannya hanya dalam dua hal pokok yang menjadi poin penting sekaligus menjadi
semangat dalam bertasawuf (laku sufi). Yang pertama adalah : Menomor
satukan Allah, dan yang kedua adalah membuat orang lain sebagai mahluk
terhormat/sepesial. Beliau mengurai dua hal tersebut dengan sangat lugas dan
sangat relevan dengan keadaan zaman. Kata beliau Menomor satukan Allah adalah
bentuk penghambaan totalitas seorang hamba kepada sang Pencipta dirinya yaitu
Allah SWT.” wujud dari totalitas tersebut bukalah ketiaka berlama-lamaan di
masjid dan berjam-jam wiridan serta berpenampilan layaknya kaum sufi
abad 12. Beliau menambahkan, kita semua jangan sampai terjebak dengan pemahaman
yang demikian, santri haruslah memiliki pemahaman yang jauh seribu langakah
melebihi model pemahaman yang hanya berhenti pada pertanyaan bagaimana (metodologis/ranah
syariat), namun santri harus memiliki kesadaran untuk melanjutkan hingga sampai
pada pertanyaan mengapa (substantive/ranah hakikat dan ma’rifat). Seorang
santri harus memiliki kesadaran itu, sebab yang demikian itu adalah yang
menjadi inti dan saripati dalam kita beragama.
Orang yang mampu membunuh ke-ego-an dalam dirinya hanya semata untuk
kepentingannya dengan Tuhannya, orang yang tidak lagi sibuk dengan
kepentingan-kepentingan mahluk, dan orang yang sanggup memejamkan matanya serta
tak lagi bergantung kepada yang selain Allah, itulah yang pantas menyandang
predikat sufi. Beliu mencontohkan dari salah satu laku sufi, yaitu zuhud, kata
beliau, zuhud bukanlah mereka yang lari dari kenyataan dunia, membenci dunia
dan meninggalkannya, dan juga bukan yang menikmati kemiskinan, merelakan
dirinya hidup dalam lingkaran kenistaan yang jauh dari kesan kemewahan. Beliau justru
menjelaskan makna zuhud dengan memberikan analogi sederhana, yaitu ; sekaya
apapun dan semewah apapun seseorang, asal hatinya masih alif (jejeg
bhs-jawa), tidak sedikitpun terpengaruh dengan keadaan yang menuntutnya kaya,
dan masih menjadikan Allah sebagai preoritas utamanya, maka yang demikianlah
yang disebut sikap zuhud sebenarnya. Maka dari itu santri harus kaya, dengan
kaya kita akan mampu mewujudkan segala keinginan kita dalam membangun peradaban
Islam baru dengan pemahaman baru yang lebih fresh, serta dengan mudah kita akan
merebut generasi dan mencetaknya menjadi generasi yang memiliki mental tangguh
dan berjiwa leader serta berkarakter (ahlakul karimah) yang siap menghadapi
tantangan zaman.
Dilain kesempatan beliau juga menjelaskan makna saguh, gupuh dan
suguh (bhs-jawa) yang merupakan implementasi dari poin kedua (membuat orang
lain sebagai mahluk terhormat/sepesial). Beliau mengkontekstualisasikan dengan tradisi
masyarakat jogja (jawa) yang merupakan sebuah kearifan lokal dan menjadi nilai
pegangan bagi masyarakat jawa dalam menjamu tamu ikromu duyuf (memuliakan tamu). Saguh adalah sikap
komitmen dan kesanggupan kita menerima siapapun mereka dengan tidak memandang
suku, bangsa, agama dan perbedaan-perbedaan untuk hidup bersama berdampingan. Gupuh
adalah ekspresi keterbukaan diri (welcome) terhadap orang lain dan wujud
kesediaan kita dalam memberikan penghormatan dan memuliakan orang lain dengan
cara merelakan diri kita sendiri asor didepan orang lain. Hal yang demikian juga
merupakan perwujudan dari sikap unggah-ungguh yang kita miliki (orang jawa)
yang harus kita jaga kelestariannya. Kemudian suguh adalah wujud
pelayanan dan kerelaan diri atas orang lain, artinya apapun yang bisa kita berikan
asal hal itu mampu membuat bahagia dan bermanfaat bagi orang lain kita akan
berikan. Hal yang demikian ini juga merupan wujud dari sebuah pengabdian kita
terhadap umat.
Sholat bukanlah satu-satunya mediasi kita untuk berinteraksi dengan
Allah, begitu juga dengan ritual-ritual lain (Ibadah mahdoh). Menjamin keamanan
dan memberikan kenyamanan terhadap orang lain yang ada di sekitar kita juga
merupakan bentuk interaksi lain antara kita dengan Allah SWT. Demikianlah yang
dapat kami bahasakan terkait pandangan beliau terhadap laku sufi, yang kemudian
kita anggap semua itu menjadi pemahaman kita bersama dan menjadi pendangan kita
bersama (santri Weha) dalam memaknai laku sufi.
0 Response to "Laku Sufi Versi Santri Ala WeHa Sebuah Catatan Tepi Kitab Muhtashor Ihya'ulumuddin"
Post a Comment