Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam dan Mutasyabih
Oleh: Muhammad Iqbal Rahman
A.
Makna Muhkam dan Mutasyabih
1.
Makna Lughawi (bahasa)
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm
berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang
yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan
membedakan antara yang hak dan batil.
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila
salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana
satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya
kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[1]
2.
Makna Ishtilahi (istilah)
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam dan
Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani
adalah sebagai berikut:[2]
a.
Muhkam
ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung
kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak
diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang
hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, hurufhuruf yang
terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan
al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
b.
Muhkam
ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabih ialah ayatayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya,
seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus
di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli
sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
c.
Muhkam
ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil.
Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil.
Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih
mengikutinya.
d.
Muhkam
ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari
Imam Ahmad R.a.
e.
Muhkam
ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan
makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna
seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya
indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih
menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
f.
Muhkam
ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan).
Mutasyabih ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan
lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al- Thibi.
g.
Muhkam
ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak
peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa
Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat
yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan
dalil yang kuat.[3]
B.
Kriteria Ayat-ayat Muhkam dan Mustasyabih
Perbedaan pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para
ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka
tentang Muhkam dan Mutasyabih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk
membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan Mutasyabih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa
termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut
berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[4]
Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai
berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayatayat lain, ayat-ayat yang
menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban,
ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan.8 Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara
yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel,
ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh
diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat
sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya
hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan
sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu
penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya
tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orangorang yang
dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, “Ya
Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah
pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”. Muhkam menyangkut soal hukum-hukum
(faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan
perumpamaan.[5]
C.
Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam al-Qur’an
Ahmad Syadali
dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam
al-Qur’an, sebagai berikut:
a.
Disebabkan oleh
ketersembunyian pada lafal
Contoh: QS.
Abasa [80]: 31
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ
Artinya : “Dan buah-buahan serta rumput-rumputan”
Lafal ب أ di sini Mutasyabih karena
ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata ب أ diartikan
rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya QS. ‘Abasa
[80]: 32 yang berbunyi:
$Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
Artinya: “Untuk kesenanganmu dan untuk
binatangbinatang ternakmu”
Ar-Raghib al-Asfhani membagi Mutasyabihat
dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih
lafal mufrad adalah tinjauan dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun,
al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah
untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama
fankhihu ma taba lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti: laisa
kamitslihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil
kitaba walam yaj’al lahu ‘iwaja..
b.
Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna
Terdapat pada
ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib.
Contoh: QS. al-Fath [48]: 10
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
Artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, Maka
barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka
Allah akan memberinya pahala yang besar.
c.
Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau dari segi kalimat, seperti umum
dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari segi cara, seperti wujub
dan nadb, misalnya, fankhihu ma taba lakum minan nisa, dari
segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqullah
haqqa tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau
dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan
yang dahulu dilakukan bangsa Arab.[6] Seperti, laisal
birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi syarat-syarat yang mengesahkan
dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.[7]
D.
Hikmah Adanya Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang
mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari
manapun keluar. Begitu pun dalam masalah Muhkam dan Mutasyabih.
Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil
dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmahnya
antara lain:
a.
Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat,
niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang
jelas.
b.
Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan
lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang
benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang
datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
w ÏmÏ?ù't ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷yt wur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@Í\s? ô`ÏiB AOÅ3ym 7ÏHxq ÇÍËÈ
Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik
dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan
ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus
menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid,
bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.[8]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya
Muhkam dan Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa
Al- Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui
berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk
lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang
memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup
dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri
kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan
manusia spiritual.[9]
Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan
dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” Muhkam dan
Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada
setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru,
sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan
pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam
kecerdasan dan karakter.
[1] Muhammad Chirzin.
2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, hal. 70.
[2]
Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit, hal. 201-203
[3]
Muhammad
Chirzin, op.cit, hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemah:
Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 171-174.
[4]
J.M.S.
Baljon. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern, terjemah: Ni’amullah Muiz.
Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 11-13.
[5]
Zaini
Dahlan, dkk, op.cit.,hal.178.
[6]
Yusuf
Qardhawy.1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta:
Rabbani Press. Hal. 223
[7]
Muhammad
Chirzin, op.cit., hal. 74.
[8]
Muhammad
chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[9] Yusuf
Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
0 Response to "Muhkam dan Mutasyabih"
Post a Comment